A. PENDAHULUAN
Globalisasi, Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah. Sebenarnya, globalisasi belum memiliki definisi yang pasti karena mencakup banyak aspek dan kekompleksan sifatnya, sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Sebagai bukti, ada yang menyebut globalisasi di bidang budaya atau di bidang ekonomi, atau di bidang informasi dan sebagainya. Dampak dari adanya globalisasi ini amat banyak dan beragam. MNC atau multinational corporation atau di dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai perusahaan multinasional adalah salah satunya. Dalam perkembangannya, disamping memberikan manfaat bagi perekonomian suatu negara ternyata perusahaan multinasional juga turut berperan sebagai penghambat karena dampak negatif yang ditimbulkannya. Terlepas dari perdebatan mana yang lebih dominan, manfaat atau kerugiannya, yang pasti harus dipikirkan bersama cara-cara untuk menanggulangi dampak negative dari adanya perusahaan multinasional.
Dewasa ini pertumbuhan Perusahaan Multinasional (Multinational Corporations) semakin berkembang pesat. Eksistensi Multinational Corporations sendiri sudah ada sejak lama, bahkan sejak sebelum Perang Dunia I dimulai. Sejak awal kehadirannya, hingga pertengahan tahun 1980an MNC sudah tumbuh berkali-kali lipat lebih cepat dibandingkan pertumbuhan perdagangan dunia. MNC memiliki jenis-jenis yang beragam, mulai dari perusahaan eksplorasi tambang migas dan mineral, perusahaan-perusahaan manufaktur, hingga ke bidang pendidikan serta gerai-gerai pangan seperti kafe. Salah satu Perusahaan Multinasional yang bergerak di bidang kafe ataupun gerai-gerai pangan adalah Dunkin’ Donuts, atau yang lebih akrab disingkat dengan sebutan DD.
B. PEMBAHASAN
Dunkin’
Donuts sendiri mulai masuk ke Indonesia pada tahun 1985, dengan gerai
pertamanya di Jl. Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Sebenarnya, Dunkin’ Donuts bukan
merupakan perusahaan donut multinasional pertama yang masuk ke Indonesia.
Di tahun 1968, American Donut merupakan perintis donat pertama yang digoreng
dengan mesin otomatis di Pekan Raya Jakarta. Selain membuka gerainya di
pekan raya, American Donut juga membuka gerainya di berbagai tempat di
Jakarta. Selain itu, masih ada perusahaan-perusahaan multinasional donut
lainnya yang juga berusaha mengimbangi gerak Dunkin’ Donuts, seperti Country
Style Donuts asal Kanada, Donuts Xpress asal Australia, Krispy Kreme yang juga
berasal dari AS, serta masih banyak lagi perusahaan-perusahaan donut lainnya. Meskipun
demikian, Dunkin’ Donuts-lah yang dinilai paling berhasil dalam meluaskan
jaringan pasarnya di Indonesia, bahkan di dunia. Dunkin’ Donuts telah berhasil
membuka lebih dari 8.800 gerai donatnya di lebih dari 35 negara di
berbagai benua. Di Indonesia sendiri Dunkin’ Donuts telah membuka 200 gerai
lebih di kota-kota besar di seluruh Indonesia, seperti Medan, Yogyakarta,
Bandung, Bali, Surabaya, Makassar, Jakarta, dan kota-kota lainnya di Indonesia.
Dunkin’Donuts telah berhasil menjadi model dalam hal pelayanan serta konsep
gerai yang dimilikinya. Bahkan Dunkin’Donuts terkadang dianggap sebagai
bayang-bayang bagi perusahaan donut lainnya. Di Jogjakarta, Dunkin’ Donuts
telah merambah ke mall-mall, swalayan serba ada, jalan-jalan di malioboro,
hingga ke bookstore-bookstore seperti Gramedia.
Kembali
kepada isu mengenai MNC yang mengundang banyak polemik dari
berbagai kalangan, terutama mengenai kehadirannya di Negara-Negara Dunia
Ketiga. Perusahaan-perusahaan Multinasional dianggap sebagai ancaman bagi
usaha-usaha lokal di negara tempat ia berada. Namun, meskipun demikian,
pemerintah negara-negara tersebut tetap saja saling berlomba-lomba (bidding wars) untuk menarik investor agar mau
menanamkan modalnya di negara mereka dalam bentuk Foreign Direct Investment. Kehadiran
MNC terkadang
memang membawa keuntungan dan kerugian. Hal inilah yang menjadi perdebatan
antara pihak-pihak yang pro dan kontra atas kehadiran Perusahaan Multinasional
di negara mereka.
Pihak
yang kontra berpendapat bahwa Perusahaan Multinasional dalam praktiknya membawa
lebih banyak kerugian daripada keuntungan bagi negara mereka. Salah satu isu
yang paling kontroversial mengenai kehadiran MNC—terutama di negara-negara
berkembang—adalah isu mengenai outsourcing. Selain
itu, terkadang kedaulatan nasioal juga tergadaikan
dengan adanya upaya MNC untuk masuk ke dalam negara tersebut. Upaya alih
teknologi yang pada mulanya diisukan sebagai keunggulan dari masuknya
perusahaan multinasional di negara-negara berkembang ternyata tidak terbukti.
Di samping itu, masih banyak lagi reaksi-reaksi negatif lainnya yang
bermunculan akibat masuknya perusahaan multinasional di negara-negara dunia
ketiga.
Namun,
terkadang orang menjadi lupa bahwa kehadiran Perusahaan Multinasional
sebenarnya tidak hanya membawa dampak yang negatif saja bagi negara penerima.
Selain membawa modal asing dan pemasukan berupa pajak, MNC sebenarnya juga
membawa dampak positif lainnya. Perbincangan mengenai MNC tidak akan berkembang
jika hanya mengenai dampak negatif yang dibawa oleh MNC saja. Kehadiran MNC
sebenarnya bisa menjadi stimulus bagi berkembangnya usaha-usaha lokal sejenis
yang ada bagi negara penerima. Salah satu contoh kasus yang disajikan dalam
tulisan ini adalah kehadiran Dunkin’Donuts yang memacu hadirnya usaha-usaha
donut lokal seperti J.CO, I-Crave, Java Donut, dan lain sebagainya.
Dengan
menggunakan studi kasus yang ada, tulisan ini diarahkan untuk menjawab beberapa
pertanyaan berikut: “Bagaimana masuknya Dunkin’Donuts di Indonesia?” Apa dan
bagaimana pengaruh kehadirannya di Indonesia? Serta bagaimana dampak
Dunkin’Donuts terhadap pertumbuhan dan perkembangan usaha-usaha lokal?”
Dengan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, tulisan ini berusaha
memberikan pemikiran yang positif bahwa kesempatan untuk memperoleh keuntungan
Ekonomi-Politik Internasional melalui kegiatan Multinational Corporations tidak hanya dimiliki oleh
negara-negara ekonomi maju. Akan tetapi, negara-negara berkembang juga dapat
mengupayakan hal yang sama melalui MNC.
1. MASUKNYA
DUNKIN’ DONUTS DI INDONESIA
Dunkin’Donuts
pertama kali masuk ke Indonesia melalui Penanaman Modal Asing Langsungnya
dengan membuka perusahaan pertamanya di Jakarta. Dunkin’ Donuts sebelumnya juga
telah membuka cabang-cabangnya (franchise) di berbagai negara,
seperti negara-negara di Eropa. Sebelumnya, dengan mengacu pada UU No. 1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing, mari kita lihat terlebih dahulu apa yang
dimaksud dengan penanaman modal asing: “Pengertian penanaman modal asing di dalam
undang-undang ini hanyalah meliputi penanaman modal asing secara langsung yang
dilakukan … berdasarkan ketentuan-ketentuan undang-undang …. dan yang digunakan
untuk menjalankan Perusahaan di Indonesia…” Sedangkan
yang dimaksud dengan Modal Asing dalam undang-undang tersebut adalah: “Alat
pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan devisa
Indonesia, yang dengan persetujuan Pemerintah digunakan untuk pembiayaan
Perusahaan di Indonesia.” Salah
satu bentuk pembiayaan yang dilakukan oleh Perusahaan Multinasional di
Indonesia adalah dalam bentuk pajak (taxation).
Dunkin’Donuts
pada mulanya tumbuh dan berkembang di kota Boston, Amerika Serikat pada tahun
1940 (dengan nama awal Open Kettle). Kemudian perusahaan ini terus tumbuh dan
berkembang hingga akhirnya pada tahun 1970, Dunkin’Donuts telah berhasil
menjadi perusahaan dengan merek internasional. Kemudian pada tahun 1983
perusahaan Dunkin’Donuts dibeli oleh Domecq Sekutu (Allied Domecq) yang
juga membawahi Togo’sdan Baskin Robins. Di bawah Allied Domecq, perluasan
pasar Dunkin’Donuts secara internasional semakin diintensifkan. Hingga akhirnya
gerai Dunkin’Donuts tersebar tidak hanya di benua Amerika saja, tetapi juga
meluas ke benua-benua seperti Eropa dan Asia.
Di
Indonesia sendiri, Dunkin’ Donuts mulai merambah pasarnya pada tahun 1985
dengan gerai pertama didirikan di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Khusus
wilayah Indonesia, master franchise Dunkin’Donuts dipegang oleh Dunkin’ Donuts
Indonesia[10]. Saat pertama kali Dunkin’Donuts membuka gerai
pertamanya di Indonesia (pada tahun 1980-an), tidak ada reaksi keras dari
masyarakat yang menentang perusahaan tersebut untuk masuk. Masyarakat cenderung
menganggap positif atas upaya perusahaan tersebut dalam memperluas jaringan
pasarnya. Mereka justru cenderung merasa senang atas hadirnya
Dunkin’Donuts di Indonesia.
2. PENGARUH
KEHADIRAN DUNKIN’ DONUTS DI INDONESIA
Hadirnya
suatu Perusahaan Multinasional baru, tentunya membawa pengaruh bagi negara
penerima perusahaan tersebut. Demikian pula kehadiran Dunkin’Donuts sendiri
yang juga membawa pengaruh bagi masyarakat.
Secara
sosial, pengaruh yang dibawa oleh perusahaan Dunkin’Donuts tidak membawa dampak
yang signifikan bagi pola kehidupan masyarakat. Ada yang berpendapat bahwa
kehadiran MNC dapat mengubah
pola hidup masyarakat menjadi lebih konsumtif. Masyarakat
dinilai akan saling berlomba-lomba dalam menggunakan (mengonsumsi) produk dari
Perusahaan Multinasional tersebut untuk menunjukkan strata sosial mereka dalam
kehidupan bermasyarakat. Namun, dalam hal ini tidak terjadi demikian. Sebelum
kehadiran Dunkin’Donuts sendiri (tahun 1985), sudah ada American Donuts yang
masuk terlebih dahulu pada tahun 1968. Sementara, donuts sendiri bukanlah suatu
produk makanan yang baru. Ia sudah ada dan populer di tengah-tengah masyarakat
sama seperti halnya roti.
Sedangkan
mengenai isu outsourcing yang juga dinilai akan memberikan kontribusi bagi
peningkatan jumlah penduduk perumahan kumuh di daerah perkotaan tidak berlaku
bagi kehadiran perusahaan ini. Produksi donut yang dihasilkan dari perusahaan
ini menggunakan teknologi mesin penggoreng otomatis. Sehingga, tenaga manusia
yang digunakan lebih banyak bergerak di bidang Manajemen dan Pelayanan. Hal ini
justru membawa dampak yang positif bagi masyarakat, yaitu yang paling pokok
adalah mengurangi
angka pengangguran dan memberdayakan produktivitas sumber daya manusia.
Selain itu, bagi masyarakat pribadi, hal ini dapat meningkatkan keterampilan
mereka dalam bidang manajemen dan pemasaran ditambah lagi dengan perluasan
jaringan kerja (work networking).
Sedangkan
secara ekonomi, kehadiran dan keberadaan Dunkin’Donuts tidak sampai mengancam
eksistensi (keberadaan) usaha-usaha donut lokal yang ada. Buktinya saja sampai
saat ini kita masih menjumpai penjual-penjual yang menjajakan donut buatan
industri rumah tangga ataupun industri kecil. Baik di pasar-pasar tradisional,
sekolah-sekolah maupun kantor, warung, serta pedagang-pedagang keliling.
Kehadiran Dunkin’Donuts dianggap sebagai salah satu varian dari jenis-jenis
donut yang ada. Selain itu, adanya segmentasi pasar tersendiri dari Dunkin’
Donut, membuat eksistensi usaha-usaha donut lokal yang ada tetap terjaga.
Ada satu
hal yang menarik dari pengaruh kehadiran Perusahaan Multinasional Dunkin’Donuts
di Indonesia. Secara empiris, hadirnya Dunkin’ Donuts telah menstimulus
timbulnya persaingan dari perusahaan lokal sejenis. Terbukti saat
ini mulai banyak bermunculan perusahaan donut lokal yang menghasilkan
donut-donut berkualitas sampai dengan yang berorientasi pada bentuk resto donut
dan kopi. Sebut saja donut I-Crave, Java Donut, Donut Kampoeng Utami (Dku.
Donuts Indonesia), Ring Master, sampai perusahaan donut J.CO (milik penata
rambut Indonesia ternama, Johnny Andrean) yang semakin digemari para penikmat
donut. Dunkin’ Donuts yang merupakan restoran donut dan kopi dengan jaringan
terbesar di dunia saat ini terbukti
mampu merangsang pertumbuhan perusahaan donut lokal yang ada.
Saat ini
bahkan perusahaan donut J.CO dinilai mampu menandingi Dunkin’Donuts dalam hal
pelayanan dan kualitas produk yang ditawarkan (berdasarkan jumlah pengunjung
yang datang dan antre setiap harinya). Hal ini mungkin sejalan dengan istilah laissez-faire(“let be” atau
biarkan saja). Di mana pemerintah membiarkan “Perusahaan” masuk dan berkembang
hingga akhirnya mampu memicu persaingan dengan pengusaha lokal. Hal ini mungkin
juga sejalan dengan prinsip liberalisme dalam tulisan Adam Smith (1776), yaitu
teori The Invisible Hand. Smith yakin pada sifat baik manusia
yang mau bekerjasama dan konstruktif. Masyarakat bisa saling bekerja dalam
keselarasan dengan sesamanya, walaupun bersaing dalam melayani pelanggan yang
sama ataupun menghasilkan produk yang sama.
3. DAMPAK
KEHADIRAN DUNKIN’ DONUTS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN USAHA LOKAL
Telah
dibahas pada bagian sebelumnya bahwa keberadaan Perusahaan Multinasional
Dunkin’Donuts terbukti tidak sampai mengancam eksistensi (keberadaan)
perusahaan lokal yang ada. Pedagang-pedagang tradisional banyak yang menjajakan
donut-donut dari usaha industri kecil ataupun usaha rumah tangga. Bahkan saat
ini pun industri rumahan tersebut banyak yang mengadaptasi adonan kue donat
yang lebih lembut. Adanya segmentasi pasar juga menjamin keberlangsungan
perusahaan donut-donut lokal. Sehingga kehadiran Dunkin’Donuts tidak terlalu
mengancam usaha-usaha tersebut.
Di samping itu, saat ini pun sudah mulai banyak
perusahaan-perusahaan donut lokal yang mampu menghasilkan produk-produk donut
berkualitas. Bahkan sebagian dari mereka sudah mempunyai nama ataupun membuka
gerai berkonsep resto donut dan kopi seperti halnya Dunkin’Donuts. Sebut saja
donut I-Crave, Java Donut, J.CO, Donut Oishii, Mister Donut, dan lain
sebagainya. Donut-donut lokal ini juga tidak kalah digemarinya oleh para
penikmat donut. Sebuah polling dalam sebuah situs internet baru-baru ini
dilakukan untuk mengetahui tingkat kegemaran para penikmat donut terhadap rasa
dari jenis-jenis donut yang ada, baik lokal maupun yang dari luar.
Salah
satu dari perusahaan-perusahaan donut lokal yang mampu bersaing dengan
Perusahaan Dunkin’Donuts adalah J.CO (perusahaan milik penata rambut Johnny
Andrean). J.CO mulai berdiri sejak tahun 2005. Perusahaan ini bahkan dianggap
mampu menyaingi Dunkin’Donuts dalam hal cita rasa dan pelayanan. J.CO pun
telah membuka gerai-gerainya di mall-mall besar di kota-kota besar di
Indonesia. J.CO dianggap sebagai salah satu perusahaan donut lokal yang mampu
keluar dari bayang-bayang Perusahaan Multinasional Dunkin’Donuts. Perusahaan
donut J.CO dianggap sebagai perusahaan donut lokal yang berhasil membuat
gebrakan dalam bisnis di bidang resto donut dan kopi. J.CO dianggap
berhasil “tampil beda” dengan para pemain sebelumnya karena berhasil menawarkan
konsep gerai baru. J.CO menggunakan konsep gerai “Open Kitchen”
(sama seperti Bread Talk, keduanya juga berada dalam satu payung perusahaan
yang sama). Namun, bukan hanya konsep gerai saja yang membuat J.CO dianggap
lebih unggul daripada Dunkin’Donuts. Kualitas jasa (tingkat pelayanan) J.CO
juga dinilai lebih baik daripada tingkat pelayanan Dunkin’Donuts.
Di
samping itu, kualitas produk dalam hal rasa dan bahan J.CO juga dinilai lebih
baik dan lebih berkualitas. J.CO dinilai lebih legit dan lebih lembut bagi para
penikmat donut dibandingkan dengan rasa Dunkin’ Donuts. Bahan-bahan yang
digunakan juga dinilai baik dan sehat. Misalnya, coklat putih Belgia, yoghurt
dan susu bebas lemak, biji kopi yang dikembangkan dari Brazil dan lain
sebagainya yang memang dinilai sebagai bahan-bahan yang berkualitas. Selain
itu, teknologi mesin penggoreng yang digunakan juga diimpor langsung dari
Amerika Serikat.
Hal ini
menunjukkan bahwa perusahaan lokal juga mampu memiliki kualitas dalam hal
produk, pelayanan, maupun sistem manajemen yang tidak kalah dengan
Perusahaan-Perusahaan Multinasional. Ditambah lagi, perusahaan J.CO juga
memiliki “wadah” komunitas berupa J.CO Community dan jejaring sosial berupa
facebook. Sehingga memudahkan J.CO untuk menyalurkan info-info kepada para
pelanggannya, baik berupa launching gerai ataupun outlet baru, promosi produk,
sampai dalam hal pelayanan baru misalnya berupa Midnite Sale. Event-event ataupun kegiatan-kegiatan yang
diadakan perusahaan tersebut, biasanya juga diinformasikan melalui sarana media
tersebut. Hal ini membuat perusahaan J.CO semakin dekat dengan para
pelanggannya.
Tidak
hanya memasarkan produknya di dalam negeri (tingkat lokal) saja. J.CO Donuts
& Coffee Indonesia juga telah membuka cabang-cabangnya di negara-negara
Asia Tenggara.seperti Malaysia, Singapura dan Filipina. Di Malaysia sendiri,
J.CO Donuts & Coffee telah membuka gerainya di Kuala Lumpur dan Petaling
Jaya, Selangor—yang dianggap sebagai pusat kegiatan ekonomi Malaysia. Saat ini
bahkan J.CO dianggap sebagai waralaba resto Donut & Coffe yang laju
pertumbuhannya paling cepat di Asia Tenggara.
Fakta-fakta
tersebut di atas menunjukkan bahwa, perusahaan-perusahaan lokal terbukti juga
tidak kalah bersaing dengan Perusahaan-Perusahaan Multinasional yang berasal
dari luar negeri. Bisnis di bidang pangan berupa resto Donut & Coffe
merupakan salah satu contoh kemajuan yang dimiliki oleh usaha-usaha lokal.
Masih banyak lagi usaha-usaha lokal yang juga “memiliki nama” di tingkat
regional bahkan global. Misalnya saja perusahaan Mustika Ratu ataupun Sari Ayu
yang merupakan produk di bidang kecantikan. Hal ini tentunya juga menjadi
pemicu bagi perusahaan-perusahaan lokal lainnya untuk turut bersaing di era globalisasi
ini. Tidak selamanya Perusahaan Multinasional hanya dikuasai oleh negara-negara
ekonomi maju. Bahkan saat ini disebutkan bahwa para pelaku MNC dari
negara-negara ekonomi maju eksistensinya mulai terancam, karena mendapatkan
saingan yang cukup ketat dari negara-negara industri berkembang serta negara-negara
berkembang lainnya (new emergent forces).
C. PENUNTUP
Sebagai
penutup, penulis ingin menambahkan saran dan masukan. Telah disebutkan
sebelumnya bahwa mesin penggoreng otomatis yang dimiliki oleh Perusahaan Donut
J. CO, semuanya diimpor langsung dari Amerika Serikat. Berkaitan dengan isu
alih teknologi, mungkin hal ini bisa berguna bagi kemajuan teknologi lokal.
Perilaku Ilmiah negara Jepang pasca Perang Dunia II di bidang teknologi mungkin
bisa ditiru. Mereka membeli mesin-mesin canggih dan modern dari luar, untuk
kemudian dibongkar dan dipelajari komponen-komponen penyusun yang ada di
dalamnya.
Sehingga,
ketika mesin tersebut mengalami kerusakan ataupun gangguan, mereka tidak perlu
lagi membeli mesin yang baru. Mereka bisa memperbaikinya sendiri karena telah
mempelajari mesin tersebut. Dari sini mereka bahkan bisa merakit dan
memproduksi mesin tersebut (produksi lokal) tanpa perlu membeli lagi dari luar.
Hal ini mungkin patut dicontoh sebagai Usaha Teknologi alih-alih transfer
teknologi yang dipromosikan sebagai keuntungan masuknya MNC. Mengingat
perkembangan usaha lokal di bidang Pengembangan Teknologi Industri dan Robot
sudah mulai cukup pesat saat ini. Mungkin tidak ada salahnya “perilaku ilmiah”
negara Jepang dijadikan contoh untuk kemajuan industri dan teknologi
selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar