Jumat, 29 Juni 2012

Perkembangan sistem politik Indonesia Era Demokrasi-Pancasila


PENDAHULUAN

1.             Latar Belakang
Sejarah telah mengungkapkan bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, yang memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta membimbingnya dalam mengejar kehidupan lahir batin yang makin baik, di dalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Bahwasanya Pancasila yang telah diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara seperti tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa, yang telah diuji kebenaran, kemampuan dan kesaktiannya, sehingga tak ada satu kekuatan manapun juga yang mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia. Menyadari bahwa untuk kelestarian kemampuan dan kesaktian Pancasila itu, perlu diusahakan secara nyata dan terus menerus penghayatan dan pengamamalan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya oleh setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah
Demokrasi pancasila merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan system presidensial. Landasan formal periode ini adalah pancasila, UUD 1945 dan Tap MPRS/MPR dalam rangka untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap UUD 1945 yang terjadi di masa Demokrasi Terpimpin, dalam perkembangannya, peran presiden semakin dominant terhadap lembaga-lembaga Negara yang lain. Melihat praktek demokrasi pada masa ini, nama pancasila hanya digunakan sebagai legitimasi politik penguasa saat itu sebab kenyataannya yang dilaksanakan tidaka sesuai dengan nilai-nilai pancasila.
Makalah ini akan membahas juga masalah politik sebagai perwujudan dari Demokrasi Pancasila.Sebagaimana kita ketahui bahwa politik banyak dibahas dalam literatur – literatur dalam perkuliahan. Politik berarti tidak lepas dari partai politik dan pemilu. pemilu banyak diasumsikan orang sebagai wujud dari pengamalan demokrasi pancasila yang dianut oleh bangsa indonesia sebagai pengamalan nilai – nilai dalam ideologi pancasila.
Dalam hal ini apakah pemilu itu sebenarnya pengamalan pancasila dan apa sebenarnya pemilu dalam demokrsi pancasila. Mungkin orang awam akan mengatakan bahwa pemilu merupakan politik para politikus yang sering mamperdaya masyarakat dan setelah pemilu selesai, rakyat masih belum mendapat kesejahteraan.Banyak juga diantara orang awan tersebut memilih para wakil rakyat berdasarkan the power of money karena mereka tidak paham bagaimana seharusnya memilih para wakil rakyat yang baik dan bertanggung jawab dan membuktikan semua janji-janji mereka ketika kampanye.Para orang awan hanya berpaham kalaupun seseorang kandidat terpilih menjadi wakil rakyat,mereka juga tidak akan mendapatkan sesuatu yangv lebih baik karena banyak fakta ketika berkampanye para kandidat mengobral janji-janji dan tidak ada realisasi ketika seseorang kandidat tersebut terpilih menjadi wakil rakyat.Sehingga menimbulka ketidak percayaan terhadap para kandidat wakil rakyat.Dan dari alasan seperti itulah para orang awam menganggap pemilu hanyalah fashion democration.Tapi sebenarnya apabila pemilu kita fahami dengan seksama dan mendalam, kita akan mengetahui hakikat dari pemilu dan latar belakang mengapa pemilu itu diadakan di indonesia.
Bagi rakyat jelata atau rakyat yang masih belum mencapai kesejahteraan tidak akan begitu mengerti mengapa pemilu dianggap sebagai perwujudan dari demokrasi pancasila. Dan secara tidak langsung pemilu merupakan pengamalan dari nilai – nilai yang terdapat dalam pancasila.
Rakyat menganggap bahwa pemilu hanya rekayasa politikus – potikus munking dikarenakan bahwa pelaksanaan pemilu yang mereka anggap tidak teratur dan tidak konsekuensi pada aturan. Tapi itu hanyalah anggapan mereka karena mereka belum tentu mengerti dan faham akan perundang – undangan dalam pemilu.



2.             Rumusan Masalah
Untuk menghindari adanya kesimpangsiuran dalam penyusunan makalah ini, maka penulis membuat rumusan masalah yang akan dibahas diantaranya:

1. Apa arti demokrasi pancasila?
2. Bagaimana peran politik dalam demokrasi pancasila?
3. Bagaimana demokrasi Pancasila pada masa orde baru? 
5. Bagaimana partai politik dalam demokrasi pancasila pada masa orde baru?

3.             Tinjauan Teori

Dalam tataran normatif, prinsip-prinsip demokrasi universal dapat kita pelajari dari berbagai tulisan. Namun, dalam tahap penerapannya kadang terjadi perbedaan atau bahkan dipraktekkan secara salah. Dalam hal ini beberapa faktor seperti faktor mental dan sosio-kultural sangat berpengaruh. Demokrasi selalu mencoba melakukan pengaturan mengenai “Distribusi apa saja” yang diperebutkan dan mengatur cara-cara pendistribusiannya.
Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang baru saja membangun demokrasi setelah keluar dari otoritarianisme orde baru pada tahun 1998.  meski demikian hingga kini banyak kalangan  berpendapat bahwa Indonesia masih dalam tahap “Demokratisasi”. Artinya demokrasi yang kini coba kita bangun belum benar-benar berdiri dengan mantap. Masih banyak hal yang perlu dibangun, bukan hanya berkaitan dengan sistem politik, tetapi juga budaya, hukum, dan perangkat-perangkat lain yang penting bagi tumbuhnya demokrasi dan masyarakat madani.
Sebagai sebuah gagasan, demokrasi sebenarnya sudah banyak dibahas atau bahkan dicoba diterapkan di Indonesia. Pada awal kemerdekaan Indonesia berbagai hal dengan negara-masyarakat telah diatur dalam UUD 1945. Para pendiri bangsa berharap agar terwujudnya pemerintahan yang segenap tumpah darah Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum dan ikut serta dalam perdamaian dunia. Semua itu merupakan gagasan-gagasan dasar yang melandasi kehidupan negara yang demokratis.

4.             Hipotesa

Demokrasi pancasila dimulai dari orde baru yang dicikal bakali oleh salah satu kejadian sejarah penting yaitu super semar yang merupakan surat dari Soekarno kepada Soeharto untuk mengambil tindakan kepemerintahan Negara Republik Indonesia, dengan salah satu tugasnya mengbubarkan PKI dengan ormas-ormasnya pada tanggal 12 Maret 1966. Yang akhirnya memberi gelar kepada Soeharto sebagai pahlawan revolusi dan mempermudah jalannya menjadi Presiden Indonesia setelah ditunjuk oleh A. H. Nasution tanggal 12 Maret 1967 pada sidang istemewa MPRS, setahun kemudian.

Awal pelaksanaan sistem demokrasi pancasila dilakukan sebuah penyederhanaan sistem kepartaian.


PEMBAHASAN

A.           Pengertian  Demokrasi Pancasila

Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang mengutamakan musyawarah mufakat tanpa oposisi  dalam doktrin Manipol USDEK disebut pula sebagai demokrasi terpimpin merupakan demokrasi yang berada dibawah komando Pemimpin Besar Revolusi kemudian dalam doktrin repelita yang berada dibawah pimpinan komando Bapak Pembangunan arah rencana pembangunan daripada suara terbanyak dalam setiap usaha pemecahan masalah atau pengambilan keputusan, terutama dalam lembaga-lembaga negara. Prinsip dalam demokrasi Pancasila sedikit berbeda dengan prinsip demokrasi secara universal. Ciri demokrasi Pancasila. periode  1966-1998 (Masa Demokrasi Pancasila Era Orde Baru).

Adapun dari beberapa tokoh dan sumber, antara lain sebagai berikut :

Prof. Dardji Darmodihardjo,S.H.
Demokrasi pancasila adalah Paham demokrasi yang bersumber pada kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang perwujudannya seperti dalam ketentuan-ketentuan seperti dalam pembukaan UUD 1945.

Prof. dr. Drs. Notonagoro,S.H.
Demokrasi pancasila adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang berketuhanan Yang Maha Esa, yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab, yang mempersatukan Indonesia dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ensiklopedi Indonesia
Demokrasi Indonesia berdasarkan Pancasila yang meliputi bidang-bidang politik sosial ekonomi, serta yang dalam penyelesaian masalah-masalah nasional berusaha sejauh mungkin menempuh jalan permusyawaratan untuk mencapai mufakat.

B.            Beberapa Karakteristik sistem politik Indonesia Era Demokrasi Pancasila

Penelaahan terhadap demokrasi-pancasila tentu tidak dapat bersifat final di sini, karena masih terus berjalan dan berproses. Herbert Fith pernah menulis artikel yang berjudul Suharto’s Search for Poltical Format pada tahun 1968, yaitu pada awal demokrasi-pancasila ini diperkenalkan dan mulai dikembangkan. Oleh karena itu semua hal yang dikemukakan disini semata-mata hanya dalam usaha mencari format demokrasi-pancasila tersebut.
Praktek-praktek mekanisme demokrasi-pancasila masih mungkin berkembang dan berubah, atau mungkin belum merupakan bentuk hasil proses yang optimal, sebagai prestasi sistem politik indonesia. Di sana-sini dengan jelas dapat diamati seolah-olah apa yang berlaku pada dua periode yang lampau berulang kembali dalam sistem demokrasi-pancasila yang masih mencari bentuk ini.
Di sana-sini pula akan terjadi penyesuaian sejalan dengan perubahan situasi dan kondisi yang mengitarinya. Namun batu pertama yang telah diletakan oleh demokrasi-pancasila selama ini dapat diukur dari uraian sementara seperti di bawah ini.

C.           Analisis sistem politik Indonesia Era Demokrasi Pancasila

         Penyaluran Tuntunan

Dalam priode Demokrasi-Pancasila ini (setidak-tidaknya sampai dewasa ini) penyaluran berbagai tuntunan yana hidup dalam masyarakat menunjukan keseimbangan. Melalui hasil penyederhanaan sistem kepartaian, muncullah satu kekuatan politik yang dominan. Banyak akibat yang ditumbuhkan oleh pola penyaluran tuntunan semacam ini, yang dalam kenyataan disalurkan secara formal melalui tiga kekuatan sosial politik, yaitu: Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan (fusi NU Partai Muslimin Indonesia, PSSII, dan Perti), dan Partai Demokrasi Indonesia (fusi PN: Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan partai Murba).
Secara material penyaluran tuntunan lebih dikendalikan oleh kualisi besar(cardinal coalition) antara Golkar dan ABRI, yang pada hakekatnya berintikan teknokrat dan perwira-perwira yang telah kenal teknologi modrn.
Melalui pemilihan umum  yang bebas dan rahasia yang dilakukan secara periodik, diduga penyaluran aspirasi tersebut tidak tergangu akibat masih adaya sistem pengakkatan lembaga-lembaga perwakilan. (Dalam sistem Demokrasi-Pancasila ini sudah tiga kali berlangsung pemilihan umum, yaitu tahun 1971, 1977 dan 1982. Dengan demikian penyaluran tuntunan secara formal-konstitusi telah (terpenuhi).

Pemeliharaan dan Konstitusi Nilai

Hak asasi manusia berkali-kali ditegaskan oleh pemerintahbahwa hak itu secara implisit mengandung pula kewajiban asasi setiap anggota masyarakat. Dengan demikian, di samping ada partisipasi, tentu pula ada mobilisasi.
Ideologisme yang mengganas dalm masa dua sistem politik sebelumnya sekarang sudah didinginkan atau setidak-tidaknya tak lagi menjadi ciri penyelenggaraan konstitusi nilai berbagai kekuatan politik yang ada.
Gaya pragmatik lebih ditnjolkan, sehingga konflik bolehdikatakan menurun sampai tingkat derajat yang cukup beranti untuk dicatat. Konstitusi nilai bernegara dan menegara lebih dikokohkan, yaitu dengan mengkokohkan struktur pemerintahaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Penyelenggaraan kontinuitas nilai dalm bidang pemerintahan, menumbuhkan kelugasan yang diwujudkan dalam cara pemberian mandat, toleransi, dan konsesi politik kepada pimpinan nasional, kalau tidak dikatakan terlalu bersifat formal yang gersang.

Kapabilitas

Di bidang ekstraktif dan distributif yang menyangkut komoditi pokok, pemerintahan mengambil peranan besar. Sedang yang menyangkut barang lainnya, menurut alam ekonomi yang bercorak lebih terbukja, yaitu disesuaikan denganhukum-hukum ekonomi universal, pihak swasta pun dapat berperan. Keterbukaan ekonomi ini merupakan kebalikan Ekonomi Terpimpin yang menghasilkan kelangkaan dalam berbagai bidang kehidupan.
Pengaturan untuk memberikan dorongan bagi pertumbuhan ekonomi diselenggarakan a.i. melalui Undang-undang peneman Modal Asing (UU.No. 1-1968) dan juga melalui pinjamamn luar negri dan bantuan luar negri.
Kapabilitas dalam bidang ekonomi tersebut a.i. dapat dilihat dalam neraca perdagaan misalnya. Grafik perdagangan luar negri setelah tahun 1972 manunjukan kenaikan ekspor yang berarti dibandingkan dengan impor.

D.           Politik dalam Demokrasi Pancasila pada masa Orde Baru (1966 – 1998)

Pada periode awal pemerintahan orde Baru, kekuatan Partai Islam di tingkat nasional memperlihatkan usaha-usaha untuk menata kembali posisi politiknya. Sepanjang 1968 dan 1969 Partai-Partai Islam mensponsori program-program “hari peringatan Piagam Jakarta” yang diselenggarakan tiap 22 Juni. Suatu hal yang perlu disorot, isu ini kembali merapatkan barisan kekuatan-kekuatan Islam baik NU maupun Parmusi (mantan Masyumi), yang kedudukannya sering dianggap mewakili sayap Islam tradisional dan modernis yang sebelumnya mengalami keretakan.

Namun, keinginan para pemimpin Partai Islam untuk merehabilitasi kembali Masyumi mulai mengambang setelah Soeharto menolaknya pada tanggal 6 Desember 1967. Berbagai usaha dilakukan oleh pemimipin Islam untuk melakukan konsolidasi Partai Islam, Namun mereka mulai merasakan justru mulai mendapat tekanan dari pemerintah Orde Baru. Keadaan itu tentu saja menyengat perasaan umat Islam, terutama kalangan aktifis politik Islam, karena berbagai tekanan dan larangan itu justru berasal dari pemerintah Orde Baru yang tokoh-tokohnya telah mereka bantu dalam masa penumbangan Orde Lama. Terjadinya kesenjangan harapan dan kenyataan yang mereka hadapi itulah yang menjadi salah satu sebab meluasnya konfrontasi kekuatan politik Islam dengan negara pada dua dekade pertama Orde Baru.
Sebagai bagian dari desain restrukturisasi politik Orde Baru, negara memandang perlu meneruskan pengendalian Partai politik melalui penyederhanaan jumlah Partai politik yang ada. Penyederhanaan dilakukan dengan cara pengelompokan (regrouping) dari sepuluh kontestan Pemilu menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok spritual-material; kedua, kelompok material spritual; dan ketiga adalah kelompok karya.
Setelah sempat mendapat ganjalan karena penolakaan dari PKI dan Parkindo untuk masuk dalam kelompok sprituil, akhirnya disepakati pada tahun 1970 terbentuk dua koalisi di DPR. Pertama, kelompok Nasionalis yang merupakan gabungan dari PNI, PKI, Murba, Parkindo, Partai Katolik, dan kedua, kelompok sprituil yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti.
Setelah melalui serangkaian perundingan dan musyawarah, pada tanggal 5 Januari 1973, di Jakarta berhasil disepakati pendirian Partai dengan nama Partai Persatuan Pembangunan. Dalam “konfederasi” Partai-Partai Islam yang baru itu terlihat adanya kompromi maksimal dari unsur-unsur yang berfusi, ditandai dengan upaya pengalokasian kekuasaan Partai berdasarkan perolehan suara pada pemilu 1971.
Pada awal dekade 1980-an, rezim Orde Baru memaksa NU mengambil pilihan yang jelas antara oposisi atau akomodasi. Dalam pidato kenegaraannya pada 16 Agustus 1982 untuk pertama kalinya mengemukakan gagasannya untuk menerapkan pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh kekuatan organisasi sosial dan politik di Indonesia.
Muncul reaksi yang beragam dari berbagai kalangan umat Islam atas rencana tersebut. PB HMI pada awalnya melakukan penolakan, namun akhirnya melunak setelah KAHMI yang dikontrol oleh Nurkholis Majid Cs. mengimbau kongres HMI tahun 1986 agar tidak berbenturan dengan masyarakat dan pemerintah. Muhammadiyah bersikap menunggu hingga RUU Parpol dan Ormas disahkan, dan hanya mengusulkan penegasan bahwa “Pancasila bukan Agama dan Agama tidak diPancasilakan”. Sementara reaksi penolakan muncul dari pemimpin-peminpin masyarakat di kota-kota besar, terutama di Jakarta. Tragedi Tanjung Priok yang hingga kini belum dapat diselesaikan secara penuh merupakan ekses dari penolakan ini.
Di tengah meluasnya keragu-raguan dan penolakan sebagian umat Islam, NU membuat kejutan dengan menerima azas tunggal. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi penerimaan ini. Pertama, terjadinya kemelut internal PPP di sekitar Pemilu 1982 telah merembet ke tubuh NU hingga masing-masing fraksi yang bertikai saling memperebutkan dukungan pemerintah. Kedua, munculnya tantangan yang luas di masyarakat terhadap rencana azas tunggal mengakibatkan kelompok mana yang lebih dulu menerima, memiliki bobot politis yang besar, ini berarti merupakan kesempatan gerakan “pemikiran baru” di NU untuk memperoleh kepercayaan kembali negara terhadap NU. 
Akhirnya, munas NU di Situbondo berhasil mengambil keputusan strategis menyangkut kembalinya NU sebagai organisasi sosial secara penuh yang berarti melepaskan dirinya secara organisatoris dengan PPP. Langkah ini kemudian dikenal sebagai kembali ke Khittah 1926. Dengan diterimanya Pancasila sebagai azas tunggal oleh Partai-Partai politik Islam, maka dapat dikatakan parta-Partai Islam sudah tidak ada lagi sejak saat itu.
Kehidupan Partai Politik di Indonesia mengalami masa pasang surut. Sejak awal kemerdekaan, pemaksaan Partai Politik tunggal di Indonesia mendapat kecaman keras dari tokoh-tokoh nasional Indonesia. Setelah itu berkembanglah kehidupan multipartai di Indonesia di tengah situasi pemerintahan yang parlementer. Demokrasi Pancasila yang lahir menggantikan Demokrasi Parlementer di era Orde Baru memang menghalalkan lahirnya partai politik namun perjalanan dan esksistensi partai-partai politik selain Golkar tampaknya dipersulit dan dikendalikan oleh kebijakan-kebijakan Pemerintah Orde Baru demi satu alasan yakni stabilitas politik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dan menjelaskan kebijakankebijakan yang dilakukan oleh Pemerintahan Orde Baru terhadap partai-partai politik yang ada pada masa itu, khususnya Partai Persatuan Pembangunan. Berbagai cara dan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintahan Orde Baru ditujukan untuk menciptakan stabilitas politik dan melanggengkan kekuasaan nya dengan mempersempit ruang gerak dari partai politik pesaing lainnya. Pada masa Orde Baru, konfigurasi Partai Politik di Indonesia mengalami konstelasi yang otoriter, terlihat dari kebijakan dari penguasa pada waktu itu yang mengeluarkan kebijakan mengenai upaya penyederhanaan Partai Politik melalui TAP MPRS No. XXXVI/MPRS/1966 tentang kepartaian, keormasan, dan kekaryaan serta pemaksakan terhadap azas tunggal Pancasila. Upaya ini dilakukan untuk “mengkebiri” peran Partai Politik demi kepentingan penguasa. Sehingga jelas, dalam setiap Pemilihan Umum sejak tahun 1971 dan seterusnya Partai Golongan Karya (Golkar) sebagai partai pemerintah selalu memenangkan Pemilihan Umum, yang berdampak pula terhadap struktur Dewan Perwakilan Rakyat dalam badan Legislatif. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif melalui studi kepustakaan dengan cara mendeskripsikan dan menganalisa kebijakan yang diberlakukan terhadap partai politik pada masa Orde Baru. Dari hasil penelitian dan penelaahan, didapat bahwa berbagai kebijakan yang menyulitkan PPP untuk dapat berbicara banyak dalam setiap pemilu untuk meraih suara yang maksimal, dan malah selalu kalah dari perolehan suara yang diraih oleh partai pemerintah yakni Golkar.
Awal kebangkitan orde baru, bercita-cita untuk menjalankan Pancasila dan UUD1945 secara murni dan konsekuen. Atas dukungan mahasiswa, TNI, dan rakyatketika itu, orba baru menampakkan sistem politik baru dengan nama ”demokrasikonstitusional” atau demokrasi Pancasila yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Proses pembanguna sistem demokrasi Pancasila ini ditandai denganmemperbaiki kondisi rakyat Indonesia. Pemerintahan orde baru mengedepankanekonomi sebagai alat komunikasi dengan rakyat, merencanakan dan melakukan program pembangunan  ekonomi disegala  bidang untuk memperbaiki keadaanbangsa Indonesia.
Sampai dengan tahun 1970-an, proses pembangunan di Indonesia masihberada dibawah koridor Pancasila dan UUD 1945. Namun, era tahun 1980 dan 1990an proses pembangunan ekonomi menjadi mercusuar dan panglima.
Kesenjangan ekonomi terjadi antara pusat dan daerah sehingga tingkat kesejahteraan tidak  merata serta semakin meraja lelanya ”budaya” korupsi, kolusidan nepotisme (KKN) dalam tubuh pemerintahan. Di bidang politik, terjadi tiranimayoritas oleh  salah satu partai politik, 
bahkan peran militer lebih dominan dibanding dengan sipil. Akibatnya, demokrasi Pancasila menjadi bias dan kabur lagi. Bahkan, posisi MPR ”menyerupai” zaman demokrasi terpimpin yang berada dibawah kendali presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun.
Puncak kekuasaan orde baru berakhir pada tahun 1997,yaitu denganmunculnya perlawanan rakyat melalui gerakan reformasi 21 Mei 1998 yang berhasil  menurunkan  Presiden Soeharto dari  sebagai presiden Republik Indonesia yangtelah berkuasa selama 32 tahun.

a.             Kelahiran Partai Politik Berbasis Islam

Organisasi Islam yang bergerak di bidang politik telah ada sejak zaman penjajahan, baik Belanda maupun Jepang. Namun untuk menyebut organisasi-organisasi itu sebagai Partai Politik Islam mungkin tidak terlalu tepat, sebab kala itu negara Indonesia belum merdeka. 
Sesaat setelah kemerdekaan, yaitu pada tanggal 3 Oktober 1945, pemerintah mengeluarkan pengumuman yang mendorong rakyat untuk mendirikan Partai. Meskipun pada awalnya, kalangan Islam menyesalkan pengumuman tersebut dan dianggap tidak tepat waktunya, sebab menurut mereka, pada masa itu yang dikehendaki adalah persatuan rakyat, dan pendirian Partai-Partai dapat memecah belah rakyat, namun akhirnya mereka dapat menerima alasan pemerintah bahwa dengan berdirinya Partai-Partai maka berbagai aliran dalam masyarakat mendapat penyaluran dan dapat dipimpin ke jalan yang teratur. Oleh sebab itu umat Islam merasa berkewajiban mengorganisasikan kekuatan dan tenaganya dalam satu wadah politik sehingga dapat melaksanakan tugasnya dalam bidang politik.

1.             Masjumi

Atas dasar itu, diadakanlah Muktamar Islam di Yogyakarta tanggal 7 – 8 November 1945 yang dihadiri oleh hampir semua tokoh berbagai organisasi Islam. Muktamar memutuskan untuk mendirikan majelis Syura pusat bagi umat Islam Indonesia (Masjumi) yang dianggap sebagai satu-satunya Partai politik bagi umat Islam. Pada awalnya, hanya empat organisasi yang masuk Masjumi: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam. Muhammadiyah termasuk pembaru (modernis) sedang NU tradisional. Dua organisasi lainnya bersifat tradisional dalam soal-soal agama, tetapi cenderung bersikap modern dalam soal-soal dunia sehingga memudahkannya untuk bekerja sama dengan kalangan modernis. Pada tahun 1951 kedua organisasi ini berfusi menjadi Persatuan Umat Islam Indonesia.
Organisasi-organisasi Islam bergabung dengan Masjumi segera setelah mereka didirikan kembali. Di Jawa, Persatua Islam (PI, Bandung) bergabung pada tahun 1948 dan Al-Irsyad pada tahun 1950. sedangkan dua organisasi dari Sumatera, yaitu al-Jamiatul Washliyah dan al-Ittihadiyah menjadi anggota Masjumi kemudian, setelah hubungan antara Yogyakarta dan Sumatera Utara secara politis pulih.
Pada akhirnya semua anggota istimewa Masjumi putus hubungan dengan Partai. Ini terjadi pada puncak perpecahan antara Soekarno dan Masjumi, Sekurang-kurangnya pada saat ketidakpercayaan Soekarno terhadap Masjumi dan juga sebaliknya meningkat. Masjumi dilihat oleh Presiden pada tahun 1958 bersimpati dengan pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia; sebaliknya Soekarno dilihat Masjumi sebagai penguasa yang ingin menegakkan kediktatoran dan yang memberi angin bagi Partai Komunis Indonesia.
Setelah pimpinan Partai masjumi bermusyawarah dengan pimpinan anggota-anggota Istimewa, melepaskan ikatan antara anggota istimewa dan Masjumi (8 September 1959). Kebijakan ini diambil untuk menjaga kelancaran kegiatan organisasi, sekiranya Masjumi mendapat hambatan dalam geraknya. namun, pada tahun 1960 Masjumi terpaksa dibubarkan oleh perintah Soekarno.

b.             Perti.

Partai Politik Perti berasal dari organisasi tradisional Islam, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, yang berpusat di Bukittinggi, Sumatera Tengah. Organisasi ini didirikan di suatu Pesantren di Candung dekat Bukittinggi pada tanggal 20 Mei 1930. Ia merupakan benteng pertahanan golongan tradisionalis terkenal di Minangkabau terhadap penyebaran dan gerakan modern.
Pada masa pendudukan Jepang, Perti banyak terlibat dalam bidang pendidikan dan sosial. Pada tahun 1944, Perti bergabung ke Majelis Islam Tinggi (MIT) di Bukittinggi, suatu organisasi Islam di seluruh Sumatera yang diketuai oleh Syekh Muhammad Djamil Djambek.
Sehubungan dengan pengumuman pemerintah agar rakyat mendirikan Partai politik, pimpinan Perti memutuskan untuk menjadikan organisasi mereka sebagai sebuah Partai politik. Keputusan ini diamil pada tanggal 22 November 1945 dan diperkuat oleh kongres di Bukittinggi tanggal 22 – 24 Desember 1945. Berbagai alasan Perti berjalan adalah : pertama, kelihatannya mereka tidak cocok berada dalam MIT (yang juga berubah bentuk menjadi Partai politik) dan kemudian dengan Masjumi (sebagai transformasi dari MIT) oleh karena dominasi kalangan modernis yang kurang memperhatikan perasaan dan aspirasi kalangan tradisional di daerah itu. Kedua, para pemimpin Perti cepat melihat pentingnya politik dalam mempertahankan paham agama mereka, dan ini menurut mereka lebih mudah dilakukan dengan mengubah organisasi menjadi Partai daripada berjuang dalam MIT dan Masjumi.



c.              Partai Syarikat Islam Indonesia.

Partai Syarikat Islam Indonesia sering membanggakan dirinya sebagai Partai tertua di Indonesia, karena ia memang berasal dari Sarekat Dagang Islam (SDI, 1911) dan Sarekat Islam (SI, 1912). Tetapi sebab langsung Partai tersebut didirikan kembali padahal sebelumnya telah ada kebulatan tekad untuk melihat Masjumi sebagai satu-satunya Partai Islam, ialah usaha formatir Amir Syarifuddin membentuk kabinet pada tahun 1947 yang ingin mengikutkan kalangan Islam tetapi ditolak oleh Masjumi. Rupanya kalangan PSII terpancing oleh ajakan Amir Syarifuddin; mereka bersedia duduk dalam kabinet yang ia bentuk.
Segera sesudah PSII didirikan kembali pada tahun 1947 itu, pimpinan PSII mengeluarkan pengumuman yang mengatakan bahwa PSII tidak ada hubungan atau ikatan dengan Masjumi. PSII masuk kabinet semata-mata berdasarkan tanggungjawabnya terhadap negara yang sedang menghadapi ketegangan yang sangat serta kesulitan besar sehingga Partai merasa perlu menanggulanginya.

d.             Nahdlatul Ulama

Organisasi ini didirikan di Surabaya tanggal 31 Januari 1926 sebagai usaha menahan perkembangan paham pembaru dalam Islam di tanah air, serta usaha mempertahankan ajaran tradisional dan mazhab di tanah suci yang baru dikuasai golongan Wahabi di bawah Raja Abdul Aziz ibn Saud.
Perhatian NU dalam bidang politik terlihat kentara pada masa revolusi. Organisasi ini mengeluarkan fatwa bahwa mempertahankan tanah air dari serangan musuh merupakan hal wajib bagi tiap muslim. Pada tahun 1949 ketika mulai tampak jelas bahwa Belanda akan meninggalkan Indonesia, NU memperlihatkan kekurangserasiannya dengan Masjumi. Adanya perubahan dalam anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Masjumi dijadikan alasan bagi penarikan diri NU dari Masjumi. Menurut kalangan NU, Masjumi sejak kongresnya di Jogjakarta pada akhir tahun 1949 diubah sedemikian rupa, di mana majelis Syuro yang merupakan tempat penting bagi para ulama dan pemimpin-pemimpin Islam menjadi anggotanya tidak lagi dijadikan sebagai badan legislatif di samping DPP, melainkan hanya dijadikan badan penasihat saja. Segala persoalan hanya dari jurusan politik saja dengan tidak lagi mengambil pedoman agama.
Akan tetapi, jika ditelusuri lebih jauh, pengunduran diri NU dari Masjumi ini lebih terkait dengan perebutan jabatan Menteri Agama antara Muhammadiyah (modernis) dengan NU (tradisional). NU bersikeras agar jabatan itu menjadi miliknya yang tidak disetujui oleh pimpinan Masjumi. Ketika akhirnya jabatan itu benar-benar jatuh ke tangan Muhammadiyah, NU memisahkan diri dari Masjumi dan mendirikan Partai politiknya sendiri. Hal ini terjadi pada kongres di Palembang akhir April 1952.
Pada Pemilu tahun 1955, NU mendapat sukses yang luar biasa; dari 8 kursi di DPRS meningkat menjadi 45 kursi dengan 18,4% suara, tepat dibelakang Masjumi (20,9%), Partai Nasional Indonesia (22,3%) dan berada didepan Partai Komunis (16,4%). Partai-Partai Islam lainnya hanya mendapat kurang dari 3% suara.
Pada periode antara tahun 1960 sampai tahun 1965 kekuatan Islam terlibat konfrontasi yang sengit dengan kekuatan PKI yang sejak era Demokrasi terpimpin menjadi lebih agresif dalam mengganggu musuh-musuhnya, terutama umat Islam.

b.             Golongan Fungsional

Awal pelaksanaan sistem demokrasi pancasila dilakukan sebuah penyederhanaan sistem kepartaian. Kemudian muncul lah kekuatan yang dominan yaitu golongan karya (Golkar) dan ABRI. Pemilu berjalan secara periodik sesuai dengan mekanisme, meskipun di sana-sini masih banyak kekurangan dan masih diwarnai adanya intrik-intrik politik tertentu.
Soeharto dilantik secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pelantikannya secara berturut-turut tidak lepas dari kebijakan represifnya yang menekan rakyat agar memilih Partai Golongan Karya yang berkuasa ketika itu, ketimbang memilih partai oposisi seperti Partai Demokrasi Indonesia atau Partai Persatuan Pembangunan. Fakta membuktikan bahwa paling kurang 80% rakyat Indonesia dalam tiap pemilu selalu mencoblos Partai Golongan Karya. Barangsiapa yang ketahuan memilih kedua partai itu akan dipecat dari pekerjaannya, dipenjarakan, atau bahkan yang paling buruk akan dihilangkan secara paksa demi kelanggengan kekuasaan Cendana.
Kemenangan Golkar pada pemilu tahun 1971 mengurangi oposisi terhadap pemerintah di kalangan sipil, karena Golkar sangat dominan, sementara partai-partai lain berada di bawah kontrol pemerintah. Kemenangan Golkar ini mengantarkan Golkar menjadi partai hegemoni yang kemudian bersama ABRI dan birokrasi menjadikan dirinya sebagai tumpuan utama rezim orde baru untuk mendominasi semua proses sosial dan politik.
Partai politik dan media massa pada mulanya diberi kebebasan untuk melancarkan kritik dengan mengungkapkan realita dalam masyarakat. Sejalan akan makna demokrasi pancasila sebagai sistem pemerintahan yang mengacu pada suatu pemerintahan dari rakyat yang berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong yang ditujukan kepada kesejahteraan rakyat, dan mengandung unsur-unsur berkesadaran religius, berdasarkan kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia dan berkesinambungan. Namun sejak dibentuknya format yang baru dituangkan dalam UU No. 15 tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tahun 1969 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD menggiring masyarakat Indonesia ke arah otoritarian. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pengisian seperti anggota MPR dan seperlima anggota DPR dilakukan melalui pengangkatan secara langsung oleh Presiden tanpa melalui Pemilu. Hal ini dimaksudkan agar terjadi stabilitas politik yang pada gilirannya akan menciptakan stabilitas keamanan sebagai prasyarat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi yang tidak ditangani secara serius pada masa demokrasi terpimpin.
Selama orde baru, pilar-pilar demokrasi seperti partai politik, lembaga perwakilan rakyat, dan media massa berada pada kondisi lemah dan selalu dibayangi oleh mekanisme reccal, sementara partai politik tidak mempunyai otonomi internal. Media massa selalu dibayang-bayangi pencabutan surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP). Sedangkan rakyat tidak diperkenankan menyelenggarakan aktivitas sosial politik tanpa izin dari pemerintah. Praktis tidak muncul kekuatan civil society yang mampu melakukan kontrol dan menjadi kekuatan penyeimbang bagi kekuasaan pemerintah yang sangat dominan. Praktek demokrasi pancasila pada masa ini tidak berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan, bahkan cenderung ke arah otoriatianisme atau kediktatoran.
Warga keturunan Tionghoa adalah warga yang paling merasakan sisi negatif dari pelaksanaan demokrasi pancasila dalam pemerintahan Soekarno, dimana mereka dilarang berekspresi dengan bebas. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai dilarang, hari raya Imlek dilarang dirayakan, dan Bahasa Mandarin dilarang diucapkan atau disastrakan. Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Bentuk-bentuk ketidak selarahan kehidupan bermasyarakat dan bernegara tersebut terjadi akibat kegagalan tiga partai besar dalam perannya sebagai lembaga kontrol terhadap jalannya pemerintahan dan tidak berfungsinya check and balance, akibat terpolanya politik kompromistis dari elite politik. Demokrasi menjadi semu. DPR tidak mencerminkan wakil rakyat yang sesungguhnya. Terjadi kolusi, korupsi, dan nepotisme di segala bidang kehidupan, karena kekuasaan cenderung ke arah oligarki.
Indonesia yang dilanda krisis ekonomi yang sulit di atasi pada akhir tahun 1997. Semula berawal dari krisis moneter lalu berlanjut menjadi krisis nasional. Kondisi ekonomi yang kian terpuruk ditambah dengan pembagunan yang dilakukan hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat. Karena pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata.
Semua itu akibat berawal dari kebijakan pemerintah akan pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU No. 1-1968) dan juga melalui pinjaman luar negeri (foreing loan) dan bantuan luar negeri (foreing aid). Mengakibatkan pula kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam. Perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan, antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam. Terciptalah kelompok yang terpinggirkan (Marginalisasi sosial). Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan berkeadilan.
Pembagunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Irian. Membuat perekonomian Indonesia gagal menunjukan taringnya. Namun pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru merupakan pondasi bagi pembangunan ekonomi selanjutnya.
Hal ini mengakibatkan terjadinya krisis kepercayaan, menghancurkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, etika politik, moral, hukum dasar-dasar demokrasi dan sendi-sendi keagamaan. Khususnya di bidang politik direspon oleh masyarakat melalui kelompok-kelompok penekan (pressure group) yang mengadakan berbagai macam unjuk rasa yang dipelopori oleh para pelajar, mahasiswa, dosen, dan praktisi, LSM dan politisi. Gelombang demontrasi yang menyuarakan reformasi semakin kuat dan semakin meluas. Di tengah gejolak kemarahan massa, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.



PENUTUPAN

Kesimpulan

Kita telah mengetahui bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan dari waktu ke waktu. Namun kita harus mengetahui bahwa pengertian Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang dihayati oleh bangsa dan negara Indonesia yang dijiwai dan diintegrasikan oleh nilai-nilai luhur Pancasila. Adapun aspek dari Demokrasi Pancasila antara lain di bidang aspek Aspek Material (Segi Isi/Subsrtansi), Aspek Formal, Aspek Normatif, Aspek Optatif, Aspek Organisasi, Aspek Kejiwaan. Namun hal tersebut juga harus didasari dengan prinsip pancasila dan dengan tujuan nilai yang terkandung di dalamnya.  Oleh karena itu, kita dapat merasakan demokrasi dalam istilah yang sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar