PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Sejarah telah mengungkapkan bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh
rakyat Indonesia, yang memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta
membimbingnya dalam mengejar kehidupan lahir batin yang makin baik, di dalam
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Bahwasanya Pancasila yang telah
diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara seperti tercantum dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa, yang
telah diuji kebenaran, kemampuan dan kesaktiannya, sehingga tak ada satu
kekuatan manapun juga yang mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa
Indonesia. Menyadari bahwa untuk kelestarian kemampuan dan kesaktian Pancasila
itu, perlu diusahakan secara nyata dan terus menerus penghayatan dan pengamamalan
nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya oleh setiap warga negara
Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan
lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah
Demokrasi
pancasila merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan system
presidensial. Landasan formal periode ini adalah pancasila, UUD 1945 dan Tap
MPRS/MPR dalam rangka untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap UUD 1945
yang terjadi di masa Demokrasi Terpimpin, dalam perkembangannya, peran presiden
semakin dominant terhadap lembaga-lembaga Negara yang lain. Melihat praktek
demokrasi pada masa ini, nama pancasila hanya digunakan sebagai legitimasi
politik penguasa saat itu sebab kenyataannya yang dilaksanakan tidaka sesuai
dengan nilai-nilai pancasila.
Makalah ini akan
membahas juga masalah politik sebagai perwujudan dari Demokrasi
Pancasila.Sebagaimana kita ketahui bahwa politik banyak dibahas dalam literatur
– literatur dalam perkuliahan. Politik berarti tidak lepas dari partai politik
dan pemilu. pemilu banyak diasumsikan orang sebagai wujud dari pengamalan
demokrasi pancasila yang dianut oleh bangsa indonesia sebagai pengamalan nilai
– nilai dalam ideologi pancasila.
Dalam hal ini
apakah pemilu itu sebenarnya pengamalan pancasila dan apa sebenarnya pemilu
dalam demokrsi pancasila. Mungkin orang awam akan mengatakan bahwa pemilu
merupakan politik para politikus yang sering mamperdaya masyarakat dan setelah
pemilu selesai, rakyat masih belum mendapat kesejahteraan.Banyak juga diantara
orang awan tersebut memilih para wakil rakyat berdasarkan the power of money karena mereka tidak paham bagaimana seharusnya
memilih para wakil rakyat yang baik dan bertanggung jawab dan membuktikan semua
janji-janji mereka ketika kampanye.Para orang awan hanya berpaham kalaupun
seseorang kandidat terpilih menjadi wakil rakyat,mereka juga tidak akan
mendapatkan sesuatu yangv lebih baik karena banyak fakta ketika berkampanye
para kandidat mengobral janji-janji dan tidak ada realisasi ketika seseorang
kandidat tersebut terpilih menjadi wakil rakyat.Sehingga menimbulka ketidak
percayaan terhadap para kandidat wakil rakyat.Dan dari alasan seperti itulah
para orang awam menganggap pemilu hanyalah fashion
democration.Tapi sebenarnya apabila pemilu kita fahami dengan seksama dan
mendalam, kita akan mengetahui hakikat dari pemilu dan latar belakang mengapa
pemilu itu diadakan di indonesia.
Bagi rakyat
jelata atau rakyat yang masih belum mencapai kesejahteraan tidak akan begitu
mengerti mengapa pemilu dianggap sebagai perwujudan dari demokrasi pancasila.
Dan secara tidak langsung pemilu merupakan pengamalan dari nilai – nilai yang
terdapat dalam pancasila.
Rakyat
menganggap bahwa pemilu hanya rekayasa politikus – potikus munking dikarenakan
bahwa pelaksanaan pemilu yang mereka anggap tidak teratur dan tidak konsekuensi
pada aturan. Tapi itu hanyalah anggapan mereka karena mereka belum tentu
mengerti dan faham akan perundang – undangan dalam pemilu.
2.
Rumusan Masalah
Untuk menghindari adanya kesimpangsiuran dalam penyusunan makalah
ini, maka penulis membuat rumusan masalah yang akan dibahas diantaranya:
1. Apa arti demokrasi pancasila?
2. Bagaimana peran politik dalam demokrasi pancasila?
3. Bagaimana demokrasi Pancasila pada masa orde baru?
5. Bagaimana partai politik dalam demokrasi pancasila pada masa
orde baru?
3.
Tinjauan
Teori
Dalam tataran normatif, prinsip-prinsip demokrasi universal dapat
kita pelajari dari berbagai tulisan. Namun, dalam tahap penerapannya kadang
terjadi perbedaan atau bahkan dipraktekkan secara salah. Dalam hal ini beberapa
faktor seperti faktor mental dan sosio-kultural sangat berpengaruh. Demokrasi
selalu mencoba melakukan pengaturan mengenai “Distribusi apa saja” yang
diperebutkan dan mengatur cara-cara pendistribusiannya.
Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang baru saja
membangun demokrasi setelah keluar dari otoritarianisme orde baru pada tahun
1998. meski demikian hingga kini banyak kalangan berpendapat bahwa
Indonesia masih dalam tahap “Demokratisasi”. Artinya demokrasi yang kini coba
kita bangun belum benar-benar berdiri dengan mantap. Masih banyak hal yang
perlu dibangun, bukan hanya berkaitan dengan sistem politik, tetapi juga
budaya, hukum, dan perangkat-perangkat lain yang penting bagi tumbuhnya
demokrasi dan masyarakat madani.
Sebagai sebuah gagasan, demokrasi sebenarnya sudah banyak dibahas
atau bahkan dicoba diterapkan di Indonesia. Pada awal kemerdekaan Indonesia
berbagai hal dengan negara-masyarakat telah diatur dalam UUD 1945. Para pendiri
bangsa berharap agar terwujudnya pemerintahan yang segenap tumpah darah
Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum dan ikut serta dalam perdamaian dunia.
Semua itu merupakan gagasan-gagasan dasar yang melandasi kehidupan negara yang
demokratis.
4.
Hipotesa
Demokrasi pancasila dimulai dari orde baru yang dicikal bakali oleh
salah satu kejadian sejarah penting yaitu super semar yang merupakan surat dari
Soekarno kepada Soeharto untuk mengambil tindakan kepemerintahan Negara
Republik Indonesia, dengan salah satu tugasnya mengbubarkan PKI dengan
ormas-ormasnya pada tanggal 12 Maret 1966. Yang akhirnya memberi gelar kepada
Soeharto sebagai pahlawan revolusi dan mempermudah jalannya menjadi Presiden
Indonesia setelah ditunjuk oleh A. H. Nasution tanggal 12 Maret 1967 pada
sidang istemewa MPRS, setahun kemudian.
Awal pelaksanaan sistem demokrasi pancasila dilakukan sebuah
penyederhanaan sistem kepartaian.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Demokrasi Pancasila
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang mengutamakan musyawarah mufakat tanpa oposisi dalam
doktrin Manipol USDEK disebut pula sebagai demokrasi terpimpin merupakan demokrasi yang berada dibawah komando Pemimpin Besar Revolusi kemudian dalam
doktrin repelita yang berada dibawah pimpinan komando Bapak Pembangunan arah rencana
pembangunan daripada suara terbanyak dalam setiap usaha pemecahan masalah atau pengambilan keputusan, terutama dalam lembaga-lembaga negara.
Prinsip dalam demokrasi Pancasila sedikit berbeda dengan prinsip demokrasi
secara universal. Ciri demokrasi Pancasila. periode 1966-1998 (Masa
Demokrasi Pancasila Era Orde Baru).
Adapun dari
beberapa tokoh dan sumber, antara lain sebagai berikut :
Prof. Dardji Darmodihardjo,S.H.
Demokrasi pancasila adalah Paham demokrasi yang bersumber pada
kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang perwujudannya seperti
dalam ketentuan-ketentuan seperti dalam pembukaan UUD 1945.
Prof. dr. Drs. Notonagoro,S.H.
Demokrasi pancasila adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang berketuhanan Yang Maha Esa,
yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab, yang mempersatukan Indonesia dan
yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ensiklopedi Indonesia
Demokrasi Indonesia berdasarkan Pancasila yang meliputi
bidang-bidang politik sosial ekonomi, serta yang dalam penyelesaian
masalah-masalah nasional berusaha sejauh mungkin menempuh jalan permusyawaratan
untuk mencapai mufakat.
B.
Beberapa
Karakteristik sistem politik Indonesia Era Demokrasi Pancasila
Penelaahan terhadap demokrasi-pancasila tentu tidak dapat bersifat
final di sini, karena masih terus berjalan dan berproses. Herbert Fith pernah
menulis artikel yang berjudul Suharto’s Search for Poltical Format pada tahun
1968, yaitu pada awal demokrasi-pancasila ini diperkenalkan dan mulai
dikembangkan. Oleh karena itu semua hal yang dikemukakan disini semata-mata
hanya dalam usaha mencari format demokrasi-pancasila tersebut.
Praktek-praktek
mekanisme demokrasi-pancasila masih mungkin berkembang dan berubah, atau
mungkin belum merupakan bentuk hasil proses yang optimal, sebagai prestasi
sistem politik indonesia. Di sana-sini dengan jelas dapat diamati seolah-olah
apa yang berlaku pada dua periode yang lampau berulang kembali dalam sistem
demokrasi-pancasila yang masih mencari bentuk ini.
Di
sana-sini pula akan terjadi penyesuaian sejalan dengan perubahan situasi dan
kondisi yang mengitarinya. Namun batu pertama yang telah diletakan oleh demokrasi-pancasila
selama ini dapat diukur dari uraian sementara seperti di bawah ini.
C.
Analisis
sistem politik Indonesia Era Demokrasi Pancasila
Penyaluran Tuntunan
Dalam priode Demokrasi-Pancasila ini (setidak-tidaknya sampai
dewasa ini) penyaluran berbagai tuntunan yana hidup dalam masyarakat menunjukan
keseimbangan. Melalui hasil penyederhanaan sistem kepartaian, muncullah satu
kekuatan politik yang dominan. Banyak akibat yang ditumbuhkan oleh pola
penyaluran tuntunan semacam ini, yang dalam kenyataan disalurkan secara formal
melalui tiga kekuatan sosial politik, yaitu: Golongan Karya, Partai Persatuan
Pembangunan (fusi NU Partai Muslimin Indonesia, PSSII, dan Perti), dan Partai
Demokrasi Indonesia (fusi PN: Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan partai
Murba).
Secara
material penyaluran tuntunan lebih dikendalikan oleh kualisi besar(cardinal
coalition) antara
Golkar dan ABRI, yang pada hakekatnya berintikan teknokrat dan perwira-perwira
yang telah kenal teknologi modrn.
Melalui
pemilihan umum yang bebas dan rahasia yang dilakukan secara periodik,
diduga penyaluran aspirasi tersebut tidak tergangu akibat masih adaya sistem
pengakkatan lembaga-lembaga perwakilan. (Dalam sistem Demokrasi-Pancasila ini
sudah tiga kali berlangsung pemilihan umum, yaitu tahun 1971, 1977 dan 1982.
Dengan demikian penyaluran tuntunan secara formal-konstitusi telah (terpenuhi).
Pemeliharaan dan Konstitusi Nilai
Hak asasi manusia berkali-kali ditegaskan oleh pemerintahbahwa hak
itu secara implisit mengandung pula kewajiban asasi setiap anggota masyarakat.
Dengan demikian, di samping ada partisipasi, tentu pula ada mobilisasi.
Ideologisme
yang mengganas dalm masa dua sistem politik sebelumnya sekarang sudah
didinginkan atau setidak-tidaknya tak lagi menjadi ciri penyelenggaraan konstitusi
nilai berbagai kekuatan politik yang ada.
Gaya pragmatik lebih ditnjolkan, sehingga konflik bolehdikatakan
menurun sampai tingkat derajat yang cukup beranti untuk dicatat. Konstitusi
nilai bernegara dan menegara lebih dikokohkan, yaitu dengan mengkokohkan
struktur pemerintahaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Penyelenggaraan
kontinuitas nilai dalm bidang pemerintahan, menumbuhkan kelugasan yang
diwujudkan dalam cara pemberian mandat, toleransi, dan konsesi politik kepada
pimpinan nasional, kalau tidak dikatakan terlalu bersifat formal yang gersang.
Kapabilitas
Di bidang ekstraktif dan distributif yang menyangkut komoditi
pokok, pemerintahan mengambil peranan besar. Sedang yang menyangkut barang
lainnya, menurut alam ekonomi yang bercorak lebih terbukja, yaitu disesuaikan
denganhukum-hukum ekonomi universal, pihak swasta pun dapat berperan.
Keterbukaan ekonomi ini merupakan kebalikan Ekonomi Terpimpin yang menghasilkan
kelangkaan dalam berbagai bidang kehidupan.
Pengaturan untuk memberikan dorongan bagi pertumbuhan ekonomi
diselenggarakan a.i. melalui Undang-undang peneman Modal Asing (UU.No. 1-1968)
dan juga melalui pinjamamn luar negri dan bantuan luar negri.
Kapabilitas dalam bidang ekonomi tersebut a.i. dapat dilihat dalam
neraca perdagaan misalnya. Grafik perdagangan luar negri setelah tahun 1972
manunjukan kenaikan ekspor yang berarti dibandingkan dengan impor.
D.
Politik
dalam Demokrasi Pancasila pada masa Orde Baru (1966 – 1998)
Pada periode awal pemerintahan orde Baru, kekuatan Partai Islam di
tingkat nasional memperlihatkan usaha-usaha untuk menata kembali posisi
politiknya. Sepanjang 1968 dan 1969 Partai-Partai Islam mensponsori
program-program “hari peringatan Piagam Jakarta” yang diselenggarakan tiap 22
Juni. Suatu hal yang perlu disorot, isu ini kembali merapatkan barisan
kekuatan-kekuatan Islam baik NU maupun Parmusi (mantan Masyumi), yang
kedudukannya sering dianggap mewakili sayap Islam tradisional dan modernis yang
sebelumnya mengalami keretakan.
Namun, keinginan para pemimpin Partai Islam untuk merehabilitasi
kembali Masyumi mulai mengambang setelah Soeharto menolaknya pada tanggal 6
Desember 1967. Berbagai usaha dilakukan oleh pemimipin Islam untuk melakukan
konsolidasi Partai Islam, Namun mereka mulai merasakan justru mulai mendapat
tekanan dari pemerintah Orde Baru. Keadaan itu tentu saja menyengat perasaan
umat Islam, terutama kalangan aktifis politik Islam, karena berbagai tekanan
dan larangan itu justru berasal dari pemerintah Orde Baru yang tokoh-tokohnya
telah mereka bantu dalam masa penumbangan Orde Lama. Terjadinya kesenjangan
harapan dan kenyataan yang mereka hadapi itulah yang menjadi salah satu sebab
meluasnya konfrontasi kekuatan politik Islam dengan negara pada dua dekade
pertama Orde Baru.
Sebagai bagian dari desain restrukturisasi politik Orde Baru,
negara memandang perlu meneruskan pengendalian Partai politik melalui
penyederhanaan jumlah Partai politik yang ada. Penyederhanaan dilakukan dengan
cara pengelompokan (regrouping) dari sepuluh kontestan Pemilu menjadi tiga
kelompok. Pertama, kelompok spritual-material; kedua, kelompok material
spritual; dan ketiga adalah kelompok karya.
Setelah sempat mendapat ganjalan karena penolakaan dari PKI dan
Parkindo untuk masuk dalam kelompok sprituil, akhirnya disepakati pada tahun
1970 terbentuk dua koalisi di DPR. Pertama, kelompok Nasionalis yang merupakan
gabungan dari PNI, PKI, Murba, Parkindo, Partai Katolik, dan kedua, kelompok
sprituil yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti.
Setelah melalui serangkaian perundingan dan musyawarah, pada
tanggal 5 Januari 1973, di Jakarta berhasil disepakati pendirian Partai dengan
nama Partai Persatuan Pembangunan. Dalam “konfederasi” Partai-Partai Islam yang
baru itu terlihat adanya kompromi maksimal dari unsur-unsur yang berfusi,
ditandai dengan upaya pengalokasian kekuasaan Partai berdasarkan perolehan
suara pada pemilu 1971.
Pada awal dekade 1980-an, rezim Orde Baru memaksa NU mengambil
pilihan yang jelas antara oposisi atau akomodasi. Dalam pidato kenegaraannya
pada 16 Agustus 1982 untuk pertama kalinya mengemukakan gagasannya untuk
menerapkan pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh kekuatan organisasi
sosial dan politik di Indonesia.
Muncul reaksi yang beragam dari berbagai kalangan umat Islam atas
rencana tersebut. PB HMI pada awalnya melakukan penolakan, namun akhirnya
melunak setelah KAHMI yang dikontrol oleh Nurkholis Majid Cs. mengimbau kongres
HMI tahun 1986 agar tidak berbenturan dengan masyarakat dan pemerintah.
Muhammadiyah bersikap menunggu hingga RUU Parpol dan Ormas disahkan, dan hanya
mengusulkan penegasan bahwa “Pancasila bukan Agama dan Agama tidak
diPancasilakan”. Sementara reaksi penolakan muncul dari pemimpin-peminpin
masyarakat di kota-kota besar, terutama di Jakarta. Tragedi Tanjung Priok yang
hingga kini belum dapat diselesaikan secara penuh merupakan ekses dari
penolakan ini.
Di tengah meluasnya keragu-raguan dan penolakan sebagian umat
Islam, NU membuat kejutan dengan menerima azas tunggal. Ada beberapa hal yang
melatarbelakangi penerimaan ini. Pertama, terjadinya kemelut internal PPP di
sekitar Pemilu 1982 telah merembet ke tubuh NU hingga masing-masing fraksi yang
bertikai saling memperebutkan dukungan pemerintah. Kedua, munculnya tantangan
yang luas di masyarakat terhadap rencana azas tunggal mengakibatkan kelompok
mana yang lebih dulu menerima, memiliki bobot politis yang besar, ini berarti
merupakan kesempatan gerakan “pemikiran baru” di NU untuk memperoleh
kepercayaan kembali negara terhadap NU.
Akhirnya, munas NU di Situbondo berhasil mengambil keputusan
strategis menyangkut kembalinya NU sebagai organisasi sosial secara penuh yang
berarti melepaskan dirinya secara organisatoris dengan PPP. Langkah ini
kemudian dikenal sebagai kembali ke Khittah 1926. Dengan diterimanya Pancasila
sebagai azas tunggal oleh Partai-Partai politik Islam, maka dapat dikatakan
parta-Partai Islam sudah tidak ada lagi sejak saat itu.
Kehidupan Partai Politik di Indonesia mengalami masa pasang surut.
Sejak awal kemerdekaan, pemaksaan Partai Politik tunggal di Indonesia mendapat
kecaman keras dari tokoh-tokoh nasional Indonesia. Setelah itu berkembanglah
kehidupan multipartai di Indonesia di tengah situasi pemerintahan yang
parlementer. Demokrasi Pancasila yang lahir menggantikan Demokrasi Parlementer
di era Orde Baru memang menghalalkan lahirnya partai politik namun perjalanan
dan esksistensi partai-partai politik selain Golkar tampaknya dipersulit dan
dikendalikan oleh kebijakan-kebijakan Pemerintah Orde Baru demi satu alasan
yakni stabilitas politik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dan
menjelaskan kebijakankebijakan yang dilakukan oleh Pemerintahan Orde Baru
terhadap partai-partai politik yang ada pada masa itu, khususnya Partai
Persatuan Pembangunan. Berbagai cara dan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintahan
Orde Baru ditujukan untuk menciptakan stabilitas politik dan melanggengkan
kekuasaan nya dengan mempersempit ruang gerak dari partai politik pesaing
lainnya. Pada masa Orde Baru, konfigurasi Partai Politik di Indonesia mengalami
konstelasi yang otoriter, terlihat dari kebijakan dari penguasa pada waktu itu
yang mengeluarkan kebijakan mengenai upaya penyederhanaan Partai Politik
melalui TAP MPRS No. XXXVI/MPRS/1966 tentang kepartaian, keormasan, dan
kekaryaan serta pemaksakan terhadap azas tunggal Pancasila. Upaya ini dilakukan
untuk “mengkebiri” peran Partai Politik demi kepentingan penguasa. Sehingga
jelas, dalam setiap Pemilihan Umum sejak tahun 1971 dan seterusnya Partai
Golongan Karya (Golkar) sebagai partai pemerintah selalu memenangkan Pemilihan
Umum, yang berdampak pula terhadap struktur Dewan Perwakilan Rakyat dalam badan
Legislatif. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif melalui
studi kepustakaan dengan cara mendeskripsikan dan menganalisa kebijakan yang
diberlakukan terhadap partai politik pada masa Orde Baru. Dari hasil penelitian
dan penelaahan, didapat bahwa berbagai kebijakan yang menyulitkan PPP untuk
dapat berbicara banyak dalam setiap pemilu untuk meraih suara yang maksimal,
dan malah selalu kalah dari perolehan suara yang diraih oleh partai pemerintah
yakni Golkar.
Awal kebangkitan orde baru, bercita-cita untuk menjalankan
Pancasila dan UUD1945 secara murni dan konsekuen. Atas dukungan mahasiswa,
TNI, dan rakyatketika itu, orba baru menampakkan sistem politik baru dengan
nama ”demokrasikonstitusional” atau demokrasi Pancasila yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Proses pembanguna sistem demokrasi Pancasila ini ditandai denganmemperbaiki
kondisi rakyat Indonesia. Pemerintahan orde baru mengedepankanekonomi sebagai
alat komunikasi dengan rakyat, merencanakan dan melakukan program pembangunan
ekonomi disegala bidang untuk memperbaiki keadaanbangsa
Indonesia.
Sampai dengan tahun 1970-an, proses pembangunan di Indonesia masihberada
dibawah koridor Pancasila dan UUD 1945. Namun, era tahun 1980 dan 1990an proses
pembangunan ekonomi menjadi mercusuar dan panglima.
Kesenjangan ekonomi terjadi antara pusat dan daerah sehingga tingkat
kesejahteraan tidak merata serta semakin meraja lelanya
”budaya” korupsi, kolusidan nepotisme (KKN) dalam tubuh pemerintahan. Di
bidang politik, terjadi tiranimayoritas oleh salah satu partai politik,
bahkan peran militer lebih dominan
dibanding dengan sipil. Akibatnya, demokrasi Pancasila menjadi bias dan
kabur lagi. Bahkan, posisi MPR ”menyerupai” zaman demokrasi terpimpin yang
berada dibawah kendali presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun.
Puncak kekuasaan orde baru berakhir pada tahun 1997,yaitu denganmunculnya
perlawanan rakyat melalui gerakan reformasi 21 Mei 1998 yang berhasil menurunkan Presiden Soeharto dari
sebagai presiden Republik Indonesia yangtelah berkuasa
selama 32 tahun.
a.
Kelahiran Partai Politik Berbasis Islam
Organisasi Islam yang bergerak di bidang politik telah ada sejak
zaman penjajahan, baik Belanda maupun Jepang. Namun untuk menyebut
organisasi-organisasi itu sebagai Partai Politik Islam mungkin tidak terlalu
tepat, sebab kala itu negara Indonesia belum merdeka.
Sesaat setelah kemerdekaan, yaitu pada tanggal 3 Oktober 1945,
pemerintah mengeluarkan pengumuman yang mendorong rakyat untuk mendirikan
Partai. Meskipun pada awalnya, kalangan Islam menyesalkan pengumuman tersebut
dan dianggap tidak tepat waktunya, sebab menurut mereka, pada masa itu yang
dikehendaki adalah persatuan rakyat, dan pendirian Partai-Partai dapat memecah
belah rakyat, namun akhirnya mereka dapat menerima alasan pemerintah bahwa
dengan berdirinya Partai-Partai maka berbagai aliran dalam masyarakat mendapat
penyaluran dan dapat dipimpin ke jalan yang teratur. Oleh sebab itu umat Islam
merasa berkewajiban mengorganisasikan kekuatan dan tenaganya dalam satu wadah
politik sehingga dapat melaksanakan tugasnya dalam bidang politik.
1.
Masjumi
Atas dasar itu, diadakanlah Muktamar Islam di Yogyakarta tanggal 7
– 8 November 1945 yang dihadiri oleh hampir semua tokoh berbagai organisasi
Islam. Muktamar memutuskan untuk mendirikan majelis Syura pusat bagi umat Islam
Indonesia (Masjumi) yang dianggap sebagai satu-satunya Partai politik bagi umat
Islam. Pada awalnya, hanya empat organisasi yang masuk Masjumi: Muhammadiyah,
Nahdlatul Ulama, Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam. Muhammadiyah
termasuk pembaru (modernis) sedang NU tradisional. Dua organisasi lainnya
bersifat tradisional dalam soal-soal agama, tetapi cenderung bersikap modern
dalam soal-soal dunia sehingga memudahkannya untuk bekerja sama dengan kalangan
modernis. Pada tahun 1951 kedua organisasi ini berfusi menjadi Persatuan Umat
Islam Indonesia.
Organisasi-organisasi Islam bergabung dengan Masjumi segera setelah
mereka didirikan kembali. Di Jawa, Persatua Islam (PI, Bandung) bergabung pada
tahun 1948 dan Al-Irsyad pada tahun 1950. sedangkan dua organisasi dari
Sumatera, yaitu al-Jamiatul Washliyah dan al-Ittihadiyah menjadi anggota
Masjumi kemudian, setelah hubungan antara Yogyakarta dan Sumatera Utara secara
politis pulih.
Pada akhirnya semua anggota istimewa Masjumi putus hubungan dengan
Partai. Ini terjadi pada puncak perpecahan antara Soekarno dan Masjumi,
Sekurang-kurangnya pada saat ketidakpercayaan Soekarno terhadap Masjumi dan
juga sebaliknya meningkat. Masjumi dilihat oleh Presiden pada tahun 1958
bersimpati dengan pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia;
sebaliknya Soekarno dilihat Masjumi sebagai penguasa yang ingin menegakkan
kediktatoran dan yang memberi angin bagi Partai Komunis Indonesia.
Setelah pimpinan Partai masjumi bermusyawarah dengan pimpinan
anggota-anggota Istimewa, melepaskan ikatan antara anggota istimewa dan Masjumi
(8 September 1959). Kebijakan ini diambil untuk menjaga kelancaran kegiatan
organisasi, sekiranya Masjumi mendapat hambatan dalam geraknya. namun, pada
tahun 1960 Masjumi terpaksa dibubarkan oleh perintah Soekarno.
b.
Perti.
Partai Politik Perti berasal dari organisasi tradisional Islam,
Persatuan Tarbiyah Islamiyah, yang berpusat di Bukittinggi, Sumatera Tengah.
Organisasi ini didirikan di suatu Pesantren di Candung dekat Bukittinggi pada
tanggal 20 Mei 1930. Ia merupakan benteng pertahanan golongan tradisionalis
terkenal di Minangkabau terhadap penyebaran dan gerakan modern.
Pada masa pendudukan Jepang, Perti banyak terlibat dalam bidang
pendidikan dan sosial. Pada tahun 1944, Perti bergabung ke Majelis Islam Tinggi
(MIT) di Bukittinggi, suatu organisasi Islam di seluruh Sumatera yang diketuai
oleh Syekh Muhammad Djamil Djambek.
Sehubungan dengan pengumuman pemerintah agar rakyat mendirikan
Partai politik, pimpinan Perti memutuskan untuk menjadikan organisasi mereka
sebagai sebuah Partai politik. Keputusan ini diamil pada tanggal 22 November
1945 dan diperkuat oleh kongres di Bukittinggi tanggal 22 – 24 Desember 1945.
Berbagai alasan Perti berjalan adalah : pertama, kelihatannya mereka tidak
cocok berada dalam MIT (yang juga berubah bentuk menjadi Partai politik) dan
kemudian dengan Masjumi (sebagai transformasi dari MIT) oleh karena dominasi
kalangan modernis yang kurang memperhatikan perasaan dan aspirasi kalangan
tradisional di daerah itu. Kedua, para pemimpin Perti cepat melihat pentingnya
politik dalam mempertahankan paham agama mereka, dan ini menurut mereka lebih
mudah dilakukan dengan mengubah organisasi menjadi Partai daripada berjuang
dalam MIT dan Masjumi.
c.
Partai Syarikat Islam Indonesia.
Partai Syarikat Islam Indonesia sering membanggakan dirinya sebagai
Partai tertua di Indonesia, karena ia memang berasal dari Sarekat Dagang Islam
(SDI, 1911) dan Sarekat Islam (SI, 1912). Tetapi sebab langsung Partai tersebut
didirikan kembali padahal sebelumnya telah ada kebulatan tekad untuk melihat
Masjumi sebagai satu-satunya Partai Islam, ialah usaha formatir Amir Syarifuddin
membentuk kabinet pada tahun 1947 yang ingin mengikutkan kalangan Islam tetapi
ditolak oleh Masjumi. Rupanya kalangan PSII terpancing oleh ajakan Amir
Syarifuddin; mereka bersedia duduk dalam kabinet yang ia bentuk.
Segera sesudah PSII didirikan kembali pada tahun 1947 itu, pimpinan
PSII mengeluarkan pengumuman yang mengatakan bahwa PSII tidak ada hubungan atau
ikatan dengan Masjumi. PSII masuk kabinet semata-mata berdasarkan
tanggungjawabnya terhadap negara yang sedang menghadapi ketegangan yang sangat serta
kesulitan besar sehingga Partai merasa perlu menanggulanginya.
d.
Nahdlatul Ulama
Organisasi ini didirikan di Surabaya tanggal 31 Januari 1926
sebagai usaha menahan perkembangan paham pembaru dalam Islam di tanah air,
serta usaha mempertahankan ajaran tradisional dan mazhab di tanah suci yang
baru dikuasai golongan Wahabi di bawah Raja Abdul Aziz ibn Saud.
Perhatian NU dalam bidang politik terlihat kentara pada masa
revolusi. Organisasi ini mengeluarkan fatwa bahwa mempertahankan tanah air dari
serangan musuh merupakan hal wajib bagi tiap muslim. Pada tahun 1949 ketika
mulai tampak jelas bahwa Belanda akan meninggalkan Indonesia, NU memperlihatkan
kekurangserasiannya dengan Masjumi. Adanya perubahan dalam anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga Masjumi dijadikan alasan bagi penarikan diri NU dari
Masjumi. Menurut kalangan NU, Masjumi sejak kongresnya di Jogjakarta pada akhir
tahun 1949 diubah sedemikian rupa, di mana majelis Syuro yang merupakan tempat
penting bagi para ulama dan pemimpin-pemimpin Islam menjadi anggotanya tidak
lagi dijadikan sebagai badan legislatif di samping DPP, melainkan hanya
dijadikan badan penasihat saja. Segala persoalan hanya dari jurusan politik
saja dengan tidak lagi mengambil pedoman agama.
Akan tetapi, jika ditelusuri lebih jauh, pengunduran diri NU dari
Masjumi ini lebih terkait dengan perebutan jabatan Menteri Agama antara
Muhammadiyah (modernis) dengan NU (tradisional). NU bersikeras agar jabatan itu
menjadi miliknya yang tidak disetujui oleh pimpinan Masjumi. Ketika akhirnya
jabatan itu benar-benar jatuh ke tangan Muhammadiyah, NU memisahkan diri dari
Masjumi dan mendirikan Partai politiknya sendiri. Hal ini terjadi pada kongres
di Palembang akhir April 1952.
Pada Pemilu tahun 1955, NU mendapat sukses yang luar biasa; dari 8
kursi di DPRS meningkat menjadi 45 kursi dengan 18,4% suara, tepat dibelakang
Masjumi (20,9%), Partai Nasional Indonesia (22,3%) dan berada didepan Partai
Komunis (16,4%). Partai-Partai Islam lainnya hanya mendapat kurang dari 3%
suara.
Pada periode antara tahun 1960 sampai tahun 1965 kekuatan Islam
terlibat konfrontasi yang sengit dengan kekuatan PKI yang sejak era Demokrasi
terpimpin menjadi lebih agresif dalam mengganggu musuh-musuhnya, terutama umat
Islam.
b.
Golongan
Fungsional
Awal pelaksanaan sistem demokrasi pancasila
dilakukan sebuah penyederhanaan sistem kepartaian. Kemudian muncul lah kekuatan
yang dominan yaitu golongan karya (Golkar) dan ABRI. Pemilu berjalan secara
periodik sesuai dengan mekanisme, meskipun di sana-sini masih banyak kekurangan
dan masih diwarnai adanya intrik-intrik politik tertentu.
Soeharto dilantik secara berturut-turut pada
tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pelantikannya secara
berturut-turut tidak lepas dari kebijakan represifnya yang menekan rakyat agar
memilih Partai Golongan Karya yang berkuasa ketika itu, ketimbang memilih
partai oposisi seperti Partai Demokrasi Indonesia atau Partai Persatuan
Pembangunan. Fakta membuktikan bahwa paling kurang 80% rakyat Indonesia dalam
tiap pemilu selalu mencoblos Partai Golongan Karya. Barangsiapa yang ketahuan
memilih kedua partai itu akan dipecat dari pekerjaannya, dipenjarakan, atau
bahkan yang paling buruk akan dihilangkan secara paksa demi kelanggengan
kekuasaan Cendana.
Kemenangan Golkar pada pemilu tahun 1971
mengurangi oposisi terhadap pemerintah di kalangan sipil, karena Golkar sangat
dominan, sementara partai-partai lain berada di bawah kontrol pemerintah.
Kemenangan Golkar ini mengantarkan Golkar menjadi partai hegemoni yang kemudian
bersama ABRI dan birokrasi menjadikan dirinya sebagai tumpuan utama rezim orde
baru untuk mendominasi semua proses sosial dan politik.
Partai politik dan media massa pada mulanya
diberi kebebasan untuk melancarkan kritik dengan mengungkapkan realita dalam
masyarakat. Sejalan akan makna demokrasi pancasila sebagai sistem pemerintahan
yang mengacu pada suatu pemerintahan dari rakyat yang berdasarkan kekeluargaan
dan gotong-royong yang ditujukan kepada kesejahteraan rakyat, dan mengandung
unsur-unsur berkesadaran religius, berdasarkan kebenaran, kecintaan dan budi
pekerti luhur, berkepribadian Indonesia dan berkesinambungan. Namun sejak
dibentuknya format yang baru dituangkan dalam UU No. 15 tahun 1969 tentang
Pemilu dan UU No. 16 tahun 1969 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan
DPRD menggiring masyarakat Indonesia ke arah otoritarian. Dalam undang-undang
tersebut dinyatakan bahwa pengisian seperti anggota MPR dan seperlima anggota
DPR dilakukan melalui pengangkatan secara langsung oleh Presiden tanpa melalui
Pemilu. Hal ini dimaksudkan agar terjadi stabilitas politik yang pada
gilirannya akan menciptakan stabilitas keamanan sebagai prasyarat untuk
melaksanakan pembangunan ekonomi yang tidak ditangani secara serius pada masa
demokrasi terpimpin.
Selama orde baru, pilar-pilar demokrasi seperti
partai politik, lembaga perwakilan rakyat, dan media massa berada pada kondisi
lemah dan selalu dibayangi oleh mekanisme reccal, sementara partai politik
tidak mempunyai otonomi internal. Media massa selalu dibayang-bayangi
pencabutan surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP). Sedangkan rakyat tidak
diperkenankan menyelenggarakan aktivitas sosial politik tanpa izin dari
pemerintah. Praktis tidak muncul kekuatan civil society yang mampu melakukan
kontrol dan menjadi kekuatan penyeimbang bagi kekuasaan pemerintah yang sangat
dominan. Praktek demokrasi pancasila pada masa ini tidak berjalan sesuai dengan
yang dicita-citakan, bahkan cenderung ke arah otoriatianisme atau kediktatoran.
Warga keturunan Tionghoa adalah warga yang paling
merasakan sisi negatif dari pelaksanaan demokrasi pancasila dalam pemerintahan
Soekarno, dimana mereka dilarang berekspresi dengan bebas. Sejak tahun 1967,
warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan
kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga
menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai dilarang, hari raya Imlek
dilarang dirayakan, dan Bahasa Mandarin dilarang diucapkan atau disastrakan.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu
mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan
akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata
bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak
belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan
perdagangan dilakukan.
Bentuk-bentuk ketidak selarahan kehidupan
bermasyarakat dan bernegara tersebut terjadi akibat kegagalan tiga partai besar
dalam perannya sebagai lembaga kontrol terhadap jalannya pemerintahan dan tidak
berfungsinya check and balance, akibat terpolanya politik kompromistis dari
elite politik. Demokrasi menjadi semu. DPR tidak mencerminkan wakil rakyat yang
sesungguhnya. Terjadi kolusi, korupsi, dan nepotisme di segala bidang
kehidupan, karena kekuasaan cenderung ke arah oligarki.
Indonesia yang dilanda krisis ekonomi yang
sulit di atasi pada akhir tahun 1997. Semula berawal dari krisis moneter lalu
berlanjut menjadi krisis nasional. Kondisi ekonomi yang kian terpuruk ditambah
dengan pembagunan yang dilakukan hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil
kalangan masyarakat. Karena pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata.
Semua itu akibat berawal dari kebijakan
pemerintah akan pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU No. 1-1968)
dan juga melalui pinjaman luar negeri (foreing loan) dan bantuan luar negeri
(foreing aid). Mengakibatkan pula kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup
dan sumber daya alam. Perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan,
antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam. Terciptalah kelompok yang
terpinggirkan (Marginalisasi sosial). Pembangunan hanya mengutamakan
pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang
demokratis dan berkeadilan.
Pembagunan tidak merata tampak dengan adanya
kemiskinan di sejumlah wilayah yang menjadi penyumbang devisa terbesar seperti
Riau, Kalimantan Timur, dan Irian. Membuat perekonomian Indonesia gagal
menunjukan taringnya. Namun pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru merupakan
pondasi bagi pembangunan ekonomi selanjutnya.
Hal ini mengakibatkan terjadinya krisis
kepercayaan, menghancurkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, etika politik,
moral, hukum dasar-dasar demokrasi dan sendi-sendi keagamaan. Khususnya di
bidang politik direspon oleh masyarakat melalui kelompok-kelompok penekan
(pressure group) yang mengadakan berbagai macam unjuk rasa yang dipelopori oleh
para pelajar, mahasiswa, dosen, dan praktisi, LSM dan politisi. Gelombang
demontrasi yang menyuarakan reformasi semakin kuat dan semakin meluas. Di
tengah gejolak kemarahan massa, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998,
tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian
memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga
Indonesia.
PENUTUPAN
Kesimpulan
Kita
telah mengetahui bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan dari waktu ke
waktu. Namun kita harus mengetahui bahwa pengertian Demokrasi Pancasila adalah demokrasi
yang dihayati oleh bangsa dan negara Indonesia yang dijiwai dan diintegrasikan
oleh nilai-nilai luhur Pancasila. Adapun aspek dari Demokrasi Pancasila antara
lain di bidang aspek Aspek Material (Segi Isi/Subsrtansi), Aspek Formal, Aspek
Normatif, Aspek Optatif, Aspek Organisasi, Aspek Kejiwaan. Namun hal tersebut
juga harus didasari dengan prinsip pancasila dan dengan tujuan nilai yang
terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, kita dapat merasakan demokrasi
dalam istilah yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar