Minggu, 19 Januari 2014

KETIKA MEDIA MASSA (TELEVISI) MENJADI ALAT PROPAGANDA POLITIK DALAM PEMILIHAN UMUM 2014


            Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah berbagai cara berkomunikasi manusia baik individu maupun kelompok dan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Demikian pula yang terjadi dalam kancah perpolitikan Indonesia saat ini karena tidak lama lagi Indonesia akan menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Atas kemajuan teknologi informasi dan komikasi banyak kemudian para aktor politik memanfaatkan sebagai kampanye politiknya, salah satunya memalui media massa berupa televisi. Di Indonesia banyak pemilik statsiun televisi yang terjun dalam kancah politik atau memang sedari dulu mereka telah berkecimpung di dunia politik.

Aktor-aktor politik ini tentunya memiliki “power”, seperti Pierre Bourdieu katakan bahwa calon yang berpotensial harus memiliki tiga modal, yakni ; modal uang, modal budaya, dan modal simbolik. Saya melihat bahwa aktor-aktor politik ini tentunya telah menyiapkan modal tersebut. Salah dua aktor politik yang memiliki statsiun televisi di Indonesia adalah Harry Tanoesoedibjo dengan MNC Groupnya serta Aburizal Bakrie dengan TV One dan ANTVnya. Kedua aktor ini kemudian memasang iklan ditelevisi yang sudah barang tentu terselip propaganda dan dengan cara yang berbeda-beda dalam iklan kampanye politik di Televisinya. Adapun tipe-tipe teknik propaganda sendiri terdiri terbagi menjadi 9 (sembilan) teknik yaitu ; Bandwagon Technique, Testimonial, Name calling or Stereotyping, Plain Folks, Transfer, Endorsement, Stacked Cards, Glittering Generality, dan Fear.

Harry Tanoesoedibjo kini telah terjun ke dunia politik bergabung dengan Partai Hati Nurani Rakyat dengan menjabat sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu Hanura dan menjadi sebagai cawapres mendampingi ketua umum partai hanura Wiranto. Sebagai pemilik MNC Group yang mempunyai tiga televisi dan sepuluh radio yang menggunakan frekuensi publik, seperti RCTI, Global TV, dan MNC TV. Sejumlah media ini tentunya digunakan Presiden Direktur MNC TV Hary Tanoesoedibjo untuk sarana kampanye bagi Partai Hati Nurani Rakyat, selain dijadikan kampanye partai hanura, Harry juga mengkampanyekan dirinya sebagai calon wakil presiden. Intensitas kampanyenya saat ini sedang gencar-gencarnya, yang mana sebelum Harry dianggkat sebagai ketua badan pemenangna pemilu hanura iklan kampanye partai hanura hanya 3 kali sehari. Namun setelah ia diangkat, intensitas penayangan kampanye menaik secara segnifikan yakni 20 kali sehari. Ini menujukan bahwa Harry bukan hanya memiliki modal uang saja tetapi dia juga memiliki modal simbolik yang mana dia sendiri mempunyai organisasi berupa perindo dan jaringan lainnya berupa media massa yakni MNC Group. Selain kedua modal tersebut Harry juga memiliki modal budaya, yang mana dalam iklan yang ditayangkan di televisi antara Win-HT (Wiranto-Harry Tanoesoedibjo) di gembor-gemborkan oleh Wiranto sendiri memiliki pengetahuan yang luas baik politik maupun manajerial, kemampuan manajerial yang digembor-gemborkan adalah dia expert di bidang ekonomi. Dengan begitu menurut pandangan Pierre Bourdieu Harry merupakan calon yang potensial.

Dalam iklan kampanye partai hanura di televisi digadang-gadangkan bahwa partai hanura lebih memperhatikan masyarakatnya kecil dimana partai hanura menjadi partai yang selalu peduli dan mendengarkan suara rakyat kecil. Sedangkan untuk kampanye dalam pencalonan presiden dan wakil preiden Win-HT memiliki slogan “ Bersih, Peduli dan Tegas “ Wiranto dan Harry ingin menujukan bahwa Indonesia butuh pemimpin yang jujur, peduli, dan tegas dan itu ada pada pasangan Win-HT ini. Selain itu Harry selaku ketua badan pemenangan pemilu hanura dan sebagai cawapres membuat suatu opini bublik bahwa pasangan Win-HT peduli atas pendidikan/ilmu pengetahuan dengan adanya kuis kebangsaan yang diadakan di televisi miliknya. Ini menunjukan propaganda yang dilakukan Win-HT terhadap partai hanura beserta dirinya sendiri ialah dengan menggunakan teknik Stacked Cards yang mana Harry dianggap sebagai kandidat yang benar-benar memiliki dan expert di bidang Ekonomi. Selain itu mereka juga menggunakan teknik Glittering Generality yang mana mereka membuat suatu pernyataan “Win-HT Bersih, Peduli, Tegas”, pernyataan ini merupakan suatu slogan yang terdengar baik, positif dan optimis.

Selain Harry Tanoesoedibjo, Aburizal Bakrie atau akrab dengan sapaan ARB juga pelaku politik yang memanfaatkan ruang publik berupa media masa sebagai alat propaganda politiknya. Saat ini ARB menjabat sebagai ketua umum partai Golkar dan mencalonkan diri sebagai calon presiden. Tentu apa yang di lakukan Harry sama dengan apa yang dilakukan ARB yakni dengan menggunakan apa yang dia miliki, yakni ARB adalah pemilik dari TV One dan ANTV yang mana dijadikan sebagai media/alat iklan kampanyenya baik mengkampanyekan partai Golkar maupun dirinya sendiri sebagai calon presiden RI.

Kemampuan finansial ARB tentunya jangan di pertanyakan lagi, ini kemudian menjadi modal awal dia dalam berkarir di dunia politik sebagai mana Pierre Bourdieu katakan. Selain itu kemampuan individual ARB dalam bisnis jangan diraguakan lagi, ini kemudian menjadi modal kedua yang ARB miliki, yakni modal budaya. Sealain modal uang dan modal budaya yang dimilikinya, ARB juga memiliki modal simbolik dimana dia banyak mengikuti organisasi bahkan menjadi ketua dalam organisasi yang tentunya jaringan di organisasi jangan ditanyakan lagi. Selain itu di bidang media massa juga jangan di pertanyakan lagi, ARB adalah pemilik dari TV One dan ANTV. Ini kemudia sama dengan Harry kedua-duanya memiliki 3 modal yang kuat dengan demikian keduanya merupan calon yang potensial.

Sebagai pemilik TV One dan ANTV, intensitas iklan kampanye golkar maupun dirinya sendiri sering muncul di televisi yang dia miliki. Partai Golkar dalam kampanyenya berupaya untuk kemudian merangkul semua umat beragama, terbukti dalam iklan yang pernah di buatnya, disitu seakan-akan ARB menggunakan pakaian muslim dan berdo’a, ini kemudian ingin meujukan bahwa golkar juga islami. Selain itu golkar juga membuat iklan di televisi berupa ucapan “selamat natal dan tahun baru”. Selain itu dalam iklan yang dibuat banyak kemudian seolah-olah masyarakat mendukung golkar dengan masyarakat membawa spanduk golkar dan tulisan bahwa dia mendukung golkar. Selain iklan partainya ARB juga mengkampanyekan dirinya dengan masih peduli dengan rakyat miskin, namun berbeda dengan Win-HT yang mana Win-HT hanya menyatakan keperduliannya pada rakyat miskin, tetapi ARB berbeda disini, dalam kampanyenya ia berupaya membuat para pegawai negeri sipil (PNS) untuk percaya terhadap ARB dan Golkar tentunya yang mana telah disebutkan dalam iklan kampanyenya di televisi. Disini saya melihat propaganda yang dilakukan Golkar dan ARB adalah Bandwagon yang mana meyakinkan masyarakat bahwa semua masyarakat mendukung pandangannya. Selain itu propaganda yang dilakukan ARB adalah dengan mengkabarkan bahwa lumpur lapindo adalah murni bencana alam, ini pernah disampikan di TV One dengan mengutip pernyataan geolog luar negeri yang menyatakan lumpur Lapindo adalah bencana alam akibat gempa di Yogyakarta beberapa tahun lalu, oleh karena itu secara implisit mereka menyatakan kesalahan bukan pada Aburizal Bakrie. Dengan demikian ARB juga melakukan teknik propaganda Stacked Cards dengan mendistorsi fakta.

Dari apa yang telah dipaparkan diatas, bahwasanya media massa berupa televisi telah dijadikan sebagai alat atau media kampanye bagi para aktor politik dalam menghadapi pemilu 2014 ini, terutama aktor politik yang langsung memiliki media massa tersebut. Dalam kasus ini adalah Harry Tanoesoedibjo dan Aburizal Bakrie yang mana keduanya memiliki media masa, Harry dengan MNC Groupnya serta Aburizal Bakrie dengan TV One dan ANTVnya. Dalam pandangan Pierre Bourdieu keduanya memiliki modal yang sangat kuat, yakni modal uang, modal budaya dan modal simbolik. Ini kemudian menjadikan keduanya sebagai calon yang potensial. Dalam melakukan kampanyenya di televisi keduanya telah malakukan suatu propaganda politik dimana Win-HT melakukan teknik propaganda Stacked Cards dan Glittering Generality. Sedangkan ARB menggunakan tipe probagandanya dengan Bandwagon dan Stacked Cards. Iklan kampanye di televisi ini sebenarnya di kota besar tidak terlalu di perhatikan, cenderung masyarakat kota besar mencuekannya, akan tetapi iklan seperti ini sangat berpengaruh pada masyarakat yang tinggal di pedesaan ataupun daerah terpencil. Saya melihat bahwa ini menjadi suatu fenomena yang tengah terjadi di Indonesia dalam menghadapi pemilu 2014 ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar