Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah berbagai cara
berkomunikasi manusia baik individu maupun kelompok dan untuk kepentingan
pribadi maupun kelompok. Demikian pula yang terjadi dalam kancah perpolitikan Indonesia saat ini karena tidak lama lagi Indonesia akan
menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Atas kemajuan teknologi informasi dan
komikasi banyak kemudian para aktor politik memanfaatkan sebagai kampanye
politiknya, salah satunya memalui media massa berupa televisi. Di Indonesia
banyak pemilik statsiun televisi yang terjun dalam kancah politik atau memang
sedari dulu mereka telah berkecimpung di dunia politik.
Aktor-aktor politik ini tentunya memiliki “power”, seperti Pierre Bourdieu katakan bahwa calon yang berpotensial harus memiliki tiga modal, yakni ;
modal uang, modal budaya, dan modal simbolik. Saya melihat bahwa aktor-aktor
politik ini tentunya telah menyiapkan modal tersebut. Salah dua aktor politik
yang memiliki statsiun televisi di Indonesia adalah Harry
Tanoesoedibjo dengan MNC Groupnya serta Aburizal Bakrie dengan TV One dan ANTVnya.
Kedua aktor ini kemudian memasang iklan ditelevisi yang sudah barang tentu
terselip propaganda dan dengan cara yang berbeda-beda dalam iklan kampanye
politik di Televisinya. Adapun tipe-tipe teknik propaganda sendiri terdiri
terbagi menjadi 9 (sembilan) teknik yaitu ; Bandwagon
Technique, Testimonial, Name calling or Stereotyping, Plain Folks, Transfer, Endorsement, Stacked Cards, Glittering Generality, dan Fear.
Harry Tanoesoedibjo kini
telah terjun ke dunia politik bergabung dengan Partai Hati Nurani Rakyat dengan
menjabat sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu
Hanura dan menjadi sebagai cawapres mendampingi ketua umum partai hanura
Wiranto. Sebagai pemilik MNC Group yang mempunyai tiga televisi dan sepuluh radio yang
menggunakan frekuensi publik, seperti RCTI, Global TV, dan MNC TV. Sejumlah media ini tentunya digunakan
Presiden Direktur MNC TV Hary
Tanoesoedibjo untuk sarana kampanye bagi Partai Hati Nurani Rakyat, selain
dijadikan kampanye partai hanura, Harry juga mengkampanyekan dirinya sebagai
calon wakil presiden. Intensitas kampanyenya saat
ini sedang gencar-gencarnya, yang mana sebelum Harry dianggkat sebagai ketua
badan pemenangna pemilu hanura iklan kampanye partai hanura hanya 3 kali
sehari. Namun setelah ia diangkat, intensitas penayangan kampanye menaik secara
segnifikan yakni 20 kali sehari. Ini menujukan bahwa Harry bukan hanya memiliki
modal uang saja tetapi dia juga memiliki modal simbolik yang mana dia sendiri
mempunyai organisasi berupa perindo dan jaringan lainnya berupa media massa
yakni MNC Group. Selain kedua modal tersebut Harry juga memiliki modal budaya,
yang mana dalam iklan yang ditayangkan di televisi antara Win-HT (Wiranto-Harry
Tanoesoedibjo) di gembor-gemborkan oleh Wiranto sendiri memiliki pengetahuan
yang luas baik politik maupun manajerial, kemampuan manajerial yang
digembor-gemborkan adalah dia expert di bidang ekonomi. Dengan
begitu menurut pandangan Pierre Bourdieu Harry merupakan calon yang potensial.
Dalam iklan kampanye partai hanura di televisi digadang-gadangkan bahwa
partai hanura lebih memperhatikan masyarakatnya kecil dimana partai hanura
menjadi partai yang selalu peduli dan mendengarkan suara rakyat kecil.
Sedangkan untuk kampanye dalam pencalonan presiden dan wakil preiden Win-HT
memiliki slogan “ Bersih, Peduli dan Tegas “ Wiranto dan Harry ingin menujukan
bahwa Indonesia butuh pemimpin yang jujur, peduli, dan tegas dan itu ada pada
pasangan Win-HT ini. Selain itu Harry selaku ketua badan pemenangan pemilu
hanura dan sebagai cawapres membuat suatu opini bublik bahwa pasangan Win-HT
peduli atas pendidikan/ilmu pengetahuan dengan adanya kuis kebangsaan yang
diadakan di televisi miliknya. Ini menunjukan propaganda yang dilakukan Win-HT
terhadap partai hanura beserta dirinya sendiri ialah dengan menggunakan teknik Stacked
Cards yang mana Harry dianggap sebagai kandidat yang
benar-benar memiliki dan expert di bidang Ekonomi. Selain itu mereka
juga menggunakan teknik Glittering Generality yang mana
mereka membuat suatu pernyataan “Win-HT Bersih, Peduli, Tegas”, pernyataan ini
merupakan suatu slogan yang terdengar baik, positif dan optimis.
Selain Harry Tanoesoedibjo,
Aburizal Bakrie atau akrab dengan sapaan ARB juga pelaku politik yang
memanfaatkan ruang publik berupa media masa sebagai alat propaganda politiknya.
Saat ini ARB menjabat sebagai ketua umum partai Golkar dan mencalonkan diri
sebagai calon presiden. Tentu apa yang di lakukan Harry sama dengan apa yang
dilakukan ARB yakni dengan menggunakan apa yang dia miliki, yakni ARB adalah
pemilik dari TV One dan ANTV yang mana dijadikan sebagai media/alat iklan
kampanyenya baik mengkampanyekan partai Golkar maupun dirinya sendiri sebagai
calon presiden RI.
Kemampuan finansial ARB
tentunya jangan di pertanyakan lagi, ini kemudian menjadi modal awal dia dalam
berkarir di dunia politik sebagai mana Pierre Bourdieu katakan. Selain itu
kemampuan individual ARB dalam bisnis jangan diraguakan lagi, ini kemudian
menjadi modal kedua yang ARB miliki, yakni modal budaya. Sealain modal uang dan
modal budaya yang dimilikinya, ARB juga memiliki modal simbolik dimana dia
banyak mengikuti organisasi bahkan menjadi ketua dalam organisasi yang tentunya
jaringan di organisasi jangan ditanyakan lagi. Selain itu di bidang media massa
juga jangan di pertanyakan lagi, ARB adalah pemilik dari TV One dan ANTV. Ini
kemudia sama dengan Harry kedua-duanya memiliki 3 modal yang kuat dengan
demikian keduanya merupan calon yang potensial.
Sebagai pemilik TV One dan
ANTV, intensitas iklan kampanye golkar maupun dirinya sendiri sering muncul di
televisi yang dia miliki. Partai Golkar dalam kampanyenya berupaya untuk
kemudian merangkul semua umat beragama, terbukti dalam iklan yang pernah di
buatnya, disitu seakan-akan ARB menggunakan pakaian muslim dan berdo’a, ini
kemudian ingin meujukan bahwa golkar juga islami. Selain itu golkar juga
membuat iklan di televisi berupa ucapan “selamat natal dan tahun baru”. Selain
itu dalam iklan yang dibuat banyak kemudian seolah-olah masyarakat mendukung
golkar dengan masyarakat membawa spanduk golkar dan tulisan bahwa dia mendukung
golkar. Selain iklan partainya ARB juga mengkampanyekan dirinya dengan masih
peduli dengan rakyat miskin, namun berbeda dengan Win-HT yang mana Win-HT hanya
menyatakan keperduliannya pada rakyat miskin, tetapi ARB berbeda disini, dalam
kampanyenya ia berupaya membuat para pegawai negeri sipil (PNS) untuk percaya
terhadap ARB dan Golkar tentunya yang mana telah disebutkan dalam iklan
kampanyenya di televisi. Disini saya melihat propaganda yang dilakukan Golkar
dan ARB adalah Bandwagon yang mana
meyakinkan masyarakat bahwa semua masyarakat mendukung pandangannya. Selain itu
propaganda yang dilakukan ARB adalah dengan mengkabarkan bahwa lumpur lapindo
adalah murni bencana alam, ini pernah disampikan di TV One dengan mengutip pernyataan geolog luar negeri yang menyatakan
lumpur Lapindo adalah bencana alam akibat gempa di Yogyakarta beberapa tahun
lalu, oleh karena itu secara implisit mereka menyatakan kesalahan bukan pada
Aburizal Bakrie. Dengan demikian ARB juga melakukan teknik propaganda
Stacked
Cards dengan mendistorsi fakta.
Dari apa yang telah
dipaparkan diatas, bahwasanya media massa berupa televisi telah dijadikan
sebagai alat atau media kampanye bagi para aktor politik dalam menghadapi
pemilu 2014 ini, terutama aktor politik yang langsung memiliki media massa
tersebut. Dalam kasus ini adalah Harry Tanoesoedibjo dan Aburizal Bakrie yang
mana keduanya memiliki media masa, Harry dengan MNC Groupnya serta Aburizal
Bakrie dengan TV One dan ANTVnya. Dalam pandangan Pierre Bourdieu keduanya memiliki modal yang sangat kuat, yakni modal uang, modal budaya
dan modal simbolik. Ini kemudian menjadikan keduanya sebagai calon yang
potensial. Dalam melakukan kampanyenya di televisi keduanya telah malakukan
suatu propaganda politik dimana Win-HT melakukan teknik propaganda Stacked
Cards dan Glittering Generality. Sedangkan ARB
menggunakan tipe probagandanya dengan Bandwagon dan Stacked Cards.
Iklan kampanye di televisi ini sebenarnya di kota besar tidak terlalu di
perhatikan, cenderung masyarakat kota besar mencuekannya, akan tetapi iklan
seperti ini sangat berpengaruh pada masyarakat yang tinggal di pedesaan ataupun
daerah terpencil. Saya melihat bahwa ini menjadi suatu fenomena yang tengah
terjadi di Indonesia dalam menghadapi pemilu 2014 ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar